Kawan baikku,
Kemarin aku menceritakan tentang penulis yang tidak meningkatkan kualitas tulisannya setelah tiga puluh tahun lebih, padahal ia terus menulis. Beberapa orang sibuk menduga-duga, mencoba menemukan siapa orang itu, dan mungkin ada yang mencoba menyeretnya ke masalah pribadi.
Ada juga yang berpendapat bahwa baik dan buruk itu soal selera. Ini pendapat klise, yang diulang-ulang setiap kali ada pembicaraan tentang mutu karya, dan sering menjadi tameng bagi keengganan belajar. Seolah-olah selera adalah takdir.
Karena sibuk bertanya siapa, mereka luput melihat sesuatu yang lebih penting; mereka lupa bertanya mengapa.
Tiga puluh tahun menulis. Mungkin sebelumnya sudah dua puluh tahun. Ia masih begitu-begitu saja, hanya sekarang umurnya tua.
Orang sering mengira umur adalah akumulasi kecakapan, dan tua adalah simbol tuntasnya pembelajaran. Ini pandangan klise juga. Umur hanya mengukur lamanya tubuh menjalani kehidupan, bukan membuktikan sejauh mana seseorang tumbuh dan meningkatkan kualitas bersama waktu.
Di dunia tulis-menulis, kekeliruan ini muncul karena terlalu sering kita mendengar dorongan “tulis saja dulu” atau “nulis ya nulis saja.” Orang menuruti saran itu dengan keyakinan bahwa jika mereka konsisten menulis, selama bertahun-tahun dan kemudian tua, mereka otomatis menjadi hebat.
Maka, ketika orang-orang muda melihat seseorang yang tua dan masih menulis, mereka menyamakan uban di kepala dan kerut-merut di kulit sebagai hasil dari proses panjang belajar, seolah tahun-tahun yang berjalan dengan sendirinya menjadikan orang itu bijak, berpengetahuan, dan maestro.
Tidak selalu begitu. Waktu tidak bekerja sebagai guru, dan orang bisa menua tanpa benar-benar belajar, dan tumpukan umur bukan berarti segala sesuatunya sudah tuntas.
Dalam tulis-menulis tidak akan pernah ada ketuntasan. Nanti kamu tahu sendiri soal itu.
Penulis yang terus belajar biasanya justru menyadari bahwa semakin ia tua semakin tak selesai urusannya. Ia tahu terlalu banyak kontradiksi. Ia mungkin sudah belajar banyak, tetapi selalu ada lebih banyak lagi yang ia pikir perlu dipelajari. Ini lumrah pada orang-orang yang belajar.
Dalam hal ini, ketuaan hanya pengingat bahwa waktu tidak memberi apa-apa. Ia hanya menyediakan kesempatan berikutnya untuk belajar, bagi mereka yang selalu merasa belum tuntas.
Salam,
A.S. Laksana

Leave a Reply