Teman baikku,
Hampir dua puluh tahun lalu, ketika aku dan beberapa teman belum lama mendirikan Jakarta School, seorang perempuan muda datang dan menanyakan sejumlah hal tentang program penulisan kami. Ia ingin belajar menulis.
“Tapi saya tidak mau membaca satu buku pun,” katanya.
“Kenapa begitu?” tanya saya.
“Saya ingin tulisan saya orisinil, tidak dipengaruhi orang lain.”
Itu omong kosong. Menurutku ia hanya tidak tahu gunanya membaca dan tidak mau membaca. Jika semua orang berpegang pada prinsip seperti itu, yang ada hanya orang yang menulis, tetapi tanpa pembaca. Dan, tanpa pembaca, apa gunanya tulisan?
Lebih dari itu, ia jelas tidak memahami pernyataannya sendiri.
Untuk menghindari perdebatan, kukatakan bahwa ia tidak mungkin belajar menulis di tempat kami, sebab aku akan memaksanya membaca.
*
Orisinalitas tidak lahir dengan cara tidak membaca satu buku pun. Orisinalitas lahir dari “pertengkaran” dengan orang-orang yang kita kagumi, dari cinta dan kekaguman yang berkembang menjadi perlawanan kreatif.
Setiap penulis pasti memiliki “ayah sastra” dan “ibu sastra” masing-masing, tetapi ada masa ketika ia tumbuh dewasa dan harus meninggalkan rumah. Pertengkaran kreatif adalah momen alami. Dari sana muncul suara pribadi, bukan karena ia berbeda seratus persen dari “orang tua sastra”-nya, tetapi karena ia sudah selesai menjadi murid yang patuh dan sedang berupaya keras untuk melahirkan suaranya sendiri.
Jadi, menirulah. Semua berawal dari situ. Semua penulis mula-mula akan terdengar seperti bayangan penulis lain. Itu tahap belajar; itu tahap pembentukan. Tidak ada bayi yang serta merta menemukan suaranya sendiri begitu ia mampu bicara.
Menirulah dan pahami betul orang-orang yang kamu tiru. Baca mereka sampai kamu tahu kenapa mereka menulis seperti itu. Menyelamlah. Jangan cuma main-main di kolam dangkal. Jangan cuma meniru di level permukaan. Kalau kamu menyukai Pramoedya Ananta Toer, cari tahu kenapa dia tetap bercerita dalam situasi sesulit apa pun, kenapa cara berceritanya seperti itu, kenapa dia menggarap tema-tema itu. Kalau kamu mengagumi Kafka, Chekhov, Garcia Marquez, atau siapa pun, pahami bagaimana mereka menyusun kalimat dan apa yang menjadi pergulatan mereka sepanjang hayat.
Meniru hanya berguna jika kamu sadar apa yang sedang kamu pelajari.
Kamu tidak bisa menemukan dirimu sendiri tanpa berjalan di antara bayangan orang lain. Tapi kamu juga tidak boleh berlama-lama di sana. Setelah belajar dari mereka, kamu harus mulai bertengkar dengan mereka. Tulisanmu baru akan tumbuh dari pertengkaran itu, dari keinginan mengingkari atau menghapus jejak-jejak keterpengaruhan—suatu upaya yang tidak mungkin sepenuhnya berhasil.
Harold Bloom, dalam bukunya The Anxiety of Influence: A Theory of Poetry (1973), menjelaskan pertarungan psikologis para penulis untuk menciptakan karya-karya orisinil di bawah bayang-bayang “orang tua sastra” mereka. Kapan-kapan kita bicarakan buku itu.
*
Belajar menulis, berlatih dengan metode, meningkatkan keterampilan secara bertahap, itu hal-hal yang berharga untuk dilakukan. Aku akan tetap mengatakannya, dan berharap kamu melakukannya, meskipun AI bisa memberimu tulisan hanya dalam satu menit, dan iklan-iklan bermunculan menawarimu kemudahan: “Satu buku selesai dalam 24 jam.”
Sepertinya itu iklan pertunjukan sulap. Ia memberimu kecakapan untuk mengubah diri sendiri menjadi mesin.
Itu memang jalan pintas untuk menghasilkan tulisan, tetapi ia juga jalan tol untuk menjadi bodoh.
Kamu bisa menghasilkan satu buku dalam 24 jam, tanpa perlu berpikir, tanpa perlu membaca buku apa pun, dan kamu akan mengulanginya lagi, lagi, lagi. Dan kamu menjadi lupa caranya berpikir.
Salam,
A.S. Laksana

Leave a Reply