Temanku yang Berambut Panjang

Heinrich Böll

Lucu juga, tepat lima menit sebelum penggerebekan dimulai, aku merasa ada yang tidak beres. Aku melirik hati-hati ke sekeliling, lalu berjalan santai menyusuri tepi Sungai Rhine menuju stasiun, dan aku tidak terkejut sama sekali ketika melihat jip-jip melaju kencang, penuh dengan polisi militer bertopi merah, yang langsung mengepung blok itu, menutupnya, dan memulai penggeledahan. Semuanya terjadi luar biasa cepat. Aku berdiri di luar garis pengepungan dan menyalakan rokok dengan tenang. Semuanya dilakukan cepat dan senyap. Banyak bungkus rokok berjatuhan di tanah. Sayang sekali, pikirku… secara naluriah aku menghitung kasar berapa banyak uang yang mungkin tercecer di sana. Truk mereka segera penuh dengan orang-orang yang mereka ringkus. Franz termasuk di antara mereka. Dari jauh ia membuat isyarat pasrah kepadaku, seolah berkata: nasibku memang begini. Satu polisi menoleh ke arahku, jadi aku menyingkir. Tapi pelan-pelan, sangat pelan. Ah, biarlah mereka tangkap aku juga, aku tak peduli.

Aku sedang tidak ingin kembali ke kamar, jadi aku terus berjalan menuju stasiun. Tongkatku menendang batu kecil. Matahari hangat, dan angin bertiup lembut dari arah Sungai Rhine.

Di ruang makan stasiun aku menyerahkan dua ratus batang rokok kepada Fritz, si pelayan, dan menyimpan uangnya ke saku celanaku. Tak ada lagi stok untuk dijual sekarang, hanya tersisa sebungkus untukku sendiri. Meski tempat itu penuh orang, aku berhasil mendapatkan tempat duduk dan memesan semangkuk sup dan sepotong roti. Lagi-lagi aku melihat Fritz memberi isyarat dari seberang ruangan, tapi aku sedang malas berdiri, jadi ia datang menghampiriku bersama si kecil Mausbach, seorang penghubung. Mereka tampak bersemangat. “Kawan, kau benar-benar pelanggan yang tenang luar biasa!” seru Fritz sambil tertawa dan menggelengkan kepala, lalu pergi meninggalkan Mausbach bersamaku.

Mausbach terengah-engah. “Demi Tuhan,” katanya terbata-bata, “cepatlah kabur! Mereka sudah menggeledah kamarmu dan menemukan barangnya… Ya Tuhan!” Ia hampir tersedak saat bicara. Aku menepuk bahunya dengan tenang dan memberinya dua puluh mark. “Tak apa,” kataku, lalu ia pun berlari pergi. Tapi tiba-tiba aku terpikir sesuatu dan memanggilnya kembali. “Dengar, Heini,” kataku, “apa kau bisa menyelamatkan buku-buku dan mantelku di tempat aman? Barang-barang itu ada di kamarku. Aku akan kembali beberapa minggu lagi. Kau boleh ambil sisanya.” Ia mengangguk. Aku bisa mempercayainya. Aku tahu itu.

Sayang sekali, pikirku—delapan ribu mark lenyap begitu saja. Tidak ada tempat, tidak ada satu pun tempat di mana orang bisa merasa aman.

Beberapa tatapan ingin tahu mengarah kepadaku saat aku pelahan duduk lagi dan dengan santai merogoh sakuku. Lalu dengung kerumunan di sekitarku mulai terdengar lagi, dan aku tahu tak ada tempat di dunia ini yang bisa membuatku merasa betul-betul sendirian selain tempat ini, di tengah lautan orang yang lalu-lalang di ruang makan stasiun.

Saat itu juga aku sadar bahwa pandanganku, yang bergerak mengedari ruangan tanpa sungguh-sungguh memperhatikan apa pun, selalu berhenti di satu titik yang sama, seolah tertarik ke sana oleh semacam daya magis. Setiap kali mataku menyapu ruangan, di titik itulah pandanganku selalu tertahan sejenak sebelum buru-buru beralih. Seolah baru bangun dari tidur panjang, dan sekarang dengan mata yang sepenuhnya melihat, aku memandang ke arah itu.

Dua meja dariku duduk seorang gadis bermantel warna terang, topi baret cokelat susu di rambut gelapnya, sedang membaca surat kabar. Aku hanya bisa melihat sedikit darinya: bahunya yang sedikit membungkuk ke depan, sedikit bagian hidungnya, dan tangan rampingnya yang diam tak bergerak. Aku bisa melihat kakinya juga—indah, jenjang, dan… ya, bersih. Entah berapa lama aku memandangi gadis itu; sesekali aku bisa menangkap bentuk oval wajahnya yang mungil ketika ia membalik halaman. Tiba-tiba ia mengangkat kepala dan memandang lurus ke wajahku dengan mata besarnya yang kelabu, tenang dan berjarak, lalu kembali membaca.

Tatapan singkat itu tepat sasaran.

Dengan sabar, meski dengan jantung berdebar kencang, aku terus memandanginya sampai ia selesai membaca koran, bersandar ke meja, lalu, dengan gerak aneh yang seperti putus asa, menyesap bir dari gelasnya.

Kini aku bisa melihat seluruh wajahnya. Wajah yang pucat, sangat pucat, dengan mulut mungil yang indah, hidung mancung yang aristokratik … namun matanya, besar, murung, kelabu! Dan, seperti kerudung dukacita, rambut hitamnya mengalirkan gelombang gelap ke bahu.

Aku tak tahu berapa lama aku memandanginya—dua puluh menit, satu jam, atau lebih lama lagi. Setiap kali matanya melintas ke wajahku, tatapannya tampak semakin gelisah, semakin singkat, tetapi wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan rasa tersinggung seperti yang biasa terjadi pada perempuan dalam situasi begitu. Ia hanya gelisah, ya … dan takut.

Demi Tuhan, aku tak bermaksud membuatnya gelisah atau takut; aku hanya tak bisa mengalihkan pandangan darinya.

Akhirnya ia bangkit tiba-tiba, menyampirkan ransel lusuh ke pundaknya, dan cepat-cepat meninggalkan ruang makan. Aku mengikutinya. Ia berjalan tanpa menoleh, menaiki tangga menuju pintu pemeriksaan tiket. Aku terus menjaganya tetap dalam pandangan, dan tanpa berhenti lama aku membeli tiket peron. Ia agak jauh di depanku, dan aku harus menjepit kuat-kuat tongkat di bawah lengan dan sedikit berlari. Hampir saja aku kehilangannya di lorong bawah tanah yang remang menuju peron. Aku menemukannya lagi di atas sana, bersandar pada sisa-sisa tempat berteduh yang hancur akibat bom. Ia memandangi rel, tanpa sekali pun menoleh.

Angin dingin dari Sungai Rhine berhembus ke dalam stasiun. Senja turun. Banyak orang dengan ransel, koper, dan buntalan berdiri di peron dengan wajah kuyu. Mereka menoleh mencari arah datangnya angin, dan kemudian menggigil. Di depan mereka, langit biru tua dan tenang, membentang dalam lengkung kubah besar, terbelah-belah oleh kisi-kisi besi atap stasiun.

Aku berjalan pelan dan pincang, sesekali menoleh ke arah gadis itu untuk memastikan ia tidak menghilang. Ia masih di sana, masih bersandar tegak di dinding yang hancur, matanya tetap terpaku pada rel.

Akhirnya kereta langsir pelahan memasuki stasiun. Saat aku melihat ke arah lokomotif, gadis itu melompat ke dalam kereta yang sedang bergerak dan lenyap di salah satu gerbong. Aku kehilangan jejaknya beberapa menit di antara kerumunan orang yang berebut masuk. Namun, tak lama kemudian, aku melihat topi baretnya di gerbong paling belakang. Aku ikut naik dan duduk tepat di depannya, begitu dekat hingga lutut kami hampir bersentuhan.

Ketika ia melihatku, dengan tenang dan serius dan sedikit kerutan di alis, mata kelabunya seperti mengatakan bahwa ia tahu aku mengikutinya sejak tadi. Berkali-kali mataku terpaku tanpa daya ke wajahnya saat kereta melaju menembus senja yang makin tua. Bibirku tak sanggup mengeluarkan kata-kata.

Ladang-ladang di luar mulai terbenam dalam kegelapan, dan desa-desa terhapus satu demi satu oleh malam. Aku merasa kedinginan. Di mana aku akan tidur malam ini, pikirku … kapan aku bisa bernapas lega lagi? Ah, jika boleh membenamkan wajah di rambut hitam itu. Itu saja yang kuinginkan, tak ada yang lain.

Aku menyalakan rokok. Ia memandang sekilas bungkusnya, dan aku hanya perlu mengangkat sedikit tanganku ke arahnya. “Ambillah,” kataku, dan rasanya jantungku hampir meloncat dari rongga dada. Ia ragu sejenak, hanya sepersekian detik, dan meski situasinya gelap, aku bisa melihat wajahnya merona. Lalu ia melolos sebatang. Ia mengisap dalam-dalam; ia selalu mengisap rokoknya dalam-dalam.

“Kamu sungguh dermawan.” Suaranya berat dan nadanya tegas. Beberapa menit kemudian kudengar suara kondektur di gerbong sebelah, dan seolah mendapat isyarat, kami berdua serempak bersandar ke sudut kursi masing-masing dan pura-pura tidur. Tapi dari sela-sela kelopak mataku, aku bisa melihat bahwa ia sedang tertawa.

Aku tahu ketika kondektur menyorotkan senternya ke tiket-tiket penumpang dan memeriksanya satu per satu. Lalu cahaya itu tiba-tiba menyorot langsung ke wajahku. Dari getaran sinar itu aku bisa merasakan bahwa ia ragu. Kemudian cahayanya beralih padanya. Betapa pucat wajah gadis itu, dan betapa sedih permukaan dahinya yang putih.

Perempuan tambun di sebelahku menarik lengan baju kondektur dan berbisik di telinganya. Aku sempat menangkap kata-kata: “rokok Amerika… pasar gelap… tak punya tiket.” Kondektur menanggapinya dengan tusukan jari ke tulang rusukku.

Gerbong itu hening saat aku bertanya kepada gadis itu, dengan suara pelan, hendak ke mana. Ia menyebut satu nama kota. Aku membeli dua tiket ke kota itu dan membayar dendanya. Kebisuan para penumpang lain, setelah kondektur pergi, terasa dingin dan mencemooh. Tapi suara gadis itu terdengar aneh, hangat namun mengejek, ketika ia bertanya, “Jadi kau juga ke sana?”

“Oh, aku bisa saja turun di sana. Aku punya teman di sana. Aku memang tak punya tempat tinggal tetap.…”

“Hmm,” hanya itu yang ia katakan. Ia bersandar di sudutnya, dan dalam kegelapan di gerbong itu aku hanya bisa menangkap sekilas wajahnya setiap kali cahaya dari luar melintas cepat.

Saat kami turun, malam sudah gelap sempurna. Pekat dan hangat. Dan saat kami keluar dari stasiun, kota kecil itu sudah tertidur lelap. Rumah-rumah mungil beristirahat tenang di bawah naungan pohon-pohon. “Aku akan ikut denganmu,” kataku serak. “Gelap sekali, tak akan bisa melihat apa-apa.”

Tiba-tiba ia berhenti. Di bawah cahaya lampu jalan, ia menatapku lama dengan mata besarnya dan berkata dengan suara tertekan, “Kalau aku tahu ke mana hendak pergi.” Wajahnya bergerak sedikit, seperti selendang yang digerakkan angin. Tidak, kami tidak berciuman…. Kami berjalan pelahan menembus kota, dan akhirnya merangkak masuk ke tumpukan jerami. Aku tak punya teman di kota ini; aku asing di kota sunyi ini, seperti juga di kota mana pun. Ketika udara mulai dingin menjelang pagi, aku merapat ke sisinya, dan ia menyelimuti tubuhku dengan bagian dari mantelnya. Begitulah kami saling menghangatkan tubuh dengan napas dan darah kami.

Sejak itu kami selalu bersama—di masa-masa sulit ini.[]

*) Diterjemahkan oleh A.S. Laksana dari versi Inggris “My Pal with the Long Hair” oleh Leila Vannewitz, dalam The Stories of Heinrich Böll.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Saya menulis artikel dan surat-surat tentang penulisan kreatif hampir setiap hari. Jika ingin menerima surat-surat dan artikel berikutnya via email, sila masukkan email anda di sini.