Pria dengan Codet di Wajah

William Somerset Maugham

Cerpen klasik W. Somerset Maugham, mengisahkan seorang mantan jenderal revolusioner yang hidup sebagai penjual lotre di Guatemala. Kisah luka di wajah, cinta, dan penyelamatan yang tragis. Sebuah cerita tentang martabat, perang, dan sesuatu yang tidak heroik. — ASL


Lelaki itu menarik perhatianku karena bekas luka di wajahnya, lebar dan merah, membentuk bulan sabit dari pelipis hingga ke dagu. Luka sedramatis itu pasti disebabkan oleh kejadian besar, entah oleh sabetan pedang atau oleh pecahan granat. Luka itu tak cocok dengan wajahnya yang bulat, gemuk, dan ceria. Wajahnya polos, tanpa ciri-ciri khusus yang mencolok. Wajah itu juga janggal jika dipasangkan dengan tubuhnya yang besar. Ia lebih tinggi, lebih besar, dan lebih kekar dibandingkan kebanyakan orang. Aku tak pernah melihat ia berpakaian selain setelan abu-abu kusam, kemeja khaki, dan topi sombrero lusuh. Ia jauh dari kesan bersih.

Ia biasa datang setiap sore, di waktu koktail, ke Palace Hotel di Guatemala City, berjalan pelan mengelilingi bar sambil menawarkan tiket lotre. Jika itu mata pencahariannya, penghasilannya pasti kecil, sebab aku tak pernah melihat ada yang membeli tiketnya. Sesekali orang hanya menawarinya minuman, dan ia tak pernah menolak. Lalu ia akan melanjutkan berjalan di antara meja-meja dengan langkah goyah, seolah ia sudah berjalan kaki jauh sekali. Ia berhenti di tiap meja, tersenyum kecil, menyebutkan nomor-nomor tiket, dan ketika tak ada yang memperhatikan, dengan senyum yang sama ia akan melangkah ke meja berikutnya. Kupikir, ia sedikit mabuk.

Aku sedang berdiri di bar suatu malam, satu kaki bertumpu pada pijakan, ditemani seorang kenalan—di Palace Hotel ini dry Martininya enak—ketika lelaki dengan luka itu datang. Ia mengulurkan tiket lotrenya untuk kesekian kali, dan aku menggeleng. Namun temanku mengangguk ramah.

“Qué tal, Jenderal? Apa kabar?”

“Lumayan. Bisnis sedang tidak bagus, tapi bisa lebih buruk dari ini.”

“Mau minum apa, Jenderal?”

“Brendi.”

Ia meneguknya sekaligus, menaruh gelas, dan mengangguk kepada temanku.

Gracias. Hasta luego.”

Lalu ia berbalik dan menawarkan tiketnya kepada pria di sebelah kami.

“Siapa temanmu itu?” tanyaku. “Bentuk codetnya luar biasa.”

“Membuatnya makin ganteng, kan?” katanya. “Dia pelarian dari Nikaragua. Bajingan, bandit, tapi bukan orang yang buruk. Sesekali kuberi dia beberapa peso. Dulu dia jenderal revolusioner. Kalau saja amunisinya tidak habis, ia mungkin sudah menggulingkan pemerintah dan sekarang menjadi Menteri Pertahanan, bukan penjual tiket lotre di Guatemala. Ia ditangkap bersama stafnya, begitulah, dan diadili di mahkamah militer. Di negara-negara begini, kamu tahu sendiri, hukuman dijatuhkan cepat. Ia divonis mati dan akan ditembak pagi-pagi. Kurasa ia sudah tahu apa yang akan terjadi begitu tertangkap.

“Malam itu ia menghabiskan waktu di penjara bersama empat rekannya, dan mereka berlima main poker dengan batang-batang korek api sebagai chip. Ia bilang kepadaku tak pernah sesial itu dalam hidupnya. Mereka bermain, dan ia hampir tak pernah memegang kartu bagus. Ia selalu kalah. Kartu dikocok lagi, dan ia langsung kalah lagi. Saat fajar tiba dan para tentara datang menjemput untuk eksekusi, ia telah kehilangan batang korek api melebihi jumlah yang mungkin dipakai satu orang seumur hidup.

“Mereka berlima dibawa ke halaman penjara dan dijajarkan merapat ke dinding, di hadapan mereka regu tembak. Ada penundaan sejenak dan kawan kita menanyakan kepada perwira yang bertugas, ‘Apa yang kalian tunggu?’ Perwira menjawab bahwa komandan pasukan pemerintah ingin menyaksikan eksekusi dan mereka sedang menunggu kedatangannya.

“‘Kalau begitu aku masih punya waktu untuk merokok sebatang lagi,’ katanya. ‘Orang itu selalu telat.’

“Belum sempat ia menyalakan rokoknya, sang Jenderal—namanya San Ignacio, aku tak tahu apakah kau pernah bertemu dengannya—tiba bersama ajudan. Upacara singkat dilakukan, lalu San Ignacio bertanya kepada kelima orang yang akan ditembak apakah mereka punya permintaan terakhir. Empat orang menggeleng, tapi kawan kita berkata:

“‘Ya, aku ingin mengucapkan selamat tinggal kepada istriku.’

“‘Bueno,’ kata sang jenderal. ‘Kupersilakan. Di mana dia?’

“‘Dia menunggu di depan pintu penjara.’

“‘Kalau begitu, tidak lebih dari lima menit.’

“‘Tak akan lebih dari itu, Señor General,’ kata kawan kita.

“‘Bawa dia ke samping,’ kata sang jenderal.

“Dua prajurit membawanya menyingkir. Sang jenderal memberi isyarat, dan komandan regu tembak memerintahkan eksekusi. Suara rentetan tembakan terdengar, dan empat orang roboh. Mereka tidak roboh bersamaan, tetapi satu demi satu, dalam gerak seperti  boneka di panggung sandiwara boneka. Komandan mendekati mereka, dan mengosongkan dua barel revolvernya untuk memberondong satu orang yang masih hidup. Kawan kita menghabiskan rokok dan membuang puntungnya.

“Lalu terjadi kegaduhan di gerbang. Seorang perempuan memasuki halaman dengan langkah cepat, dan berhenti mendadak sambil memegangi dadanya. Ia menjerit, lalu berlari dengan tangan terulur.

“‘Caramba,’ kata sang Jenderal.

“Ia berpakaian serba hitam, kerudung menutupi rambutnya, dan wajahnya sepucat batu kapur. Ia masih sangat muda, ramping, dengan wajah mungil dan mata besar. Tetapi kedua mata itu diliputi kepedihan. Ia terlihat begitu cantik saat berlari, mulutnya sedikit terbuka, dan kepedihan pada wajahnya membuat ia terlihat semakin cantik. Para tentara yang semula acuh tak acuh tampak takjub saat melihatnya berlari.

“Sang pemberontak melangkah maju menyambutnya, dan wanita itu melemparkan diri ke pelukannya. Kawan kita, sambil berteriak serak alma de mi corazón, jantung hatiku, menekan bibir perempuan itu dengan bibirnya. Di saat yang sama, dari balik kemeja compang-campingnya, ia mengeluarkan pisau—entah bagaimana bisa ia menyimpannya—dan menusuk leher perempuan itu. Darah memancar dari liang luka, membasahi bajunya. Ia memeluk wanita itu erat dan kembali mencium bibirnya.

“Semuanya terjadi begitu cepat sehingga banyak yang tak paham apa yang baru saja terjadi. Yang lain menjerit-jerit ngeri dan segera meringkusnya. Mereka melepaskan tangannya dari pelukan, dan wanita itu niscaya roboh kalau saja si ajudan tidak menangkapnya. Wanita itu tak sadarkan diri. Mereka membaringkannya di tanah dan berdiri mengitarinya dengan wajah cemas. Sang pemberontak tahu di bagian mana ia harus menusuk, dan darah yang memancar tak mungkin dihentikan. Tak lama setelah itu, ajudan yang berlutut di sampingnya berdiri.

“‘Dia sudah mati,’ bisiknya.

“Sang pemberontak membuat tanda salib.

“‘Mengapa kaulakukan itu?’ tanya sang Jenderal.

“‘Aku mencintainya.’

“Desahan panjang terdengar dari kerumunan tentara, dan dengan ekspresi aneh mereka memandangi si pembunuh. Sang Jenderal menatapnya lama, tak bicara, dan akhirnya berkata pelan:

“‘Itu tindakan ksatria. Aku tak bisa mengeksekusi orang ini. Bawa dia ke perbatasan dengan mobilku. Señor, aku mengampunimu, sebagai bentuk rasa hormat dari satu lelaki pemberani kepada lelaki pemberani lainnya.’

“Sorak pelan terdengar dari barisan. Ajudan menyentuh bahu si pemberontak. Tanpa bicara sepatah kata pun, dua prajurit membawanya menuju mobil.”

Temanku berhenti bercerita, dan untuk beberapa saat aku hanya diam. Temanku orang Guatemala dan berbicara padaku dalam bahasa Spanyol. Aku sudah menerjemahkan sebaik mungkin apa yang ia ceritakan, tanpa berusaha menurunkan bahasanya yang melambung tinggi. Sejujurnya, gaya itu justru cocok untuk cerita ini.

“Tapi bagaimana dengan lukanya?” tanyaku akhirnya.

“Oh, itu karena botol yang meledak saat aku membukanya. Botol ginger ale.”

“Aku tak suka minuman itu,” kataku.[]

*) Diterjemahkan oleh A.S. Laksana dari “The Man with The Scar”, dalam kumpulan cerpen W. Somerset Maugham Collected Stories Volume 2.



3 responses to “Pria dengan Codet di Wajah”

  1. ATHOILLAH Avatar
    ATHOILLAH

    botol bir bangsat…

  2. Nisrina Avatar
    Nisrina

    Saya masih belum mudeng, membunuh wanita yang mencintainya adalah suatu bentuk tindakan ksatria? Apa memang budaya di sana seperti itu? Atau memang saya yang ngga paham?

    Salaam
    Na

    1. aslaksana@gmail.com Avatar

      Coba dilihat ucapan tentang keksatriaan itu muncul dari mulut siapa dalam cerita itu, Mbak. Somerset Maugham sering sinis dan meledek secara halus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Saya menulis artikel dan surat-surat tentang penulisan kreatif hampir setiap hari. Jika ingin menerima surat-surat dan artikel berikutnya via email, sila masukkan email anda di sini.