Nadine Gordimer

Bacalah bibirku.
Sebab aku tak bicara. Kamu duduk di sana, dan ketika kereta tersentak maju, kamu tampak mencondongkan badan untuk mendengarkan. Tapi aku tak bicara.
Kalau saja aku bisa menemukan mereka, aku akan meminta separuh bayaran sisanya untuk pekerjaan yang sudah kulakukan, tapi mereka sudah pergi. Aku tak tahu ke mana harus mencari. Kurasa mereka sudah tak di sini lagi; mungkin sudah di negara lain, mereka selalu berpindah, dan begitulah mereka menemukan orang-orang seperti aku.
Kami meninggalkan rumah karena pemerintahan tumbang, karena menjadi milisi di pihak yang salah; tak ada pekerjaan, tak ada roti, tak ada minyak di toko-toko, dan ketika kami menyeberang perbatasan, kami dihalau, dan dihalau lagi. Hendak ke mana kalian? Kami tak tahu; kami tak tahu di mana kami bisa tinggal, di mana kami tak akan dihalau-halau lagi, dari satu tenda ke tenda lain, di negeri yang kamu tak akan pernah dapat surat-surat.
Aku tak pernah bicara.
Mereka menemukan kami di sana, di salah satu tempat itu—mereka menemukan aku dan menyelamatkan aku. Mereka bisa melakukan apa saja. Mereka memberiku surat-surat dan nama baru; aku menguburkan nama lamaku dan tak seorang pun bisa menggalinya lagi. Mereka memberi tahu apa yang harus kulakukan dan membayar separuh upah di muka. Aku bisa makan dan aku punya pakaian dan aku punya kamar di hotel tempat orang-orang membaca menu di tiga restorannya sebelum memutuskan hendak makan di mana. Ada sampo gratis di kamar mandi dan kunci brankas pribadi yang isinya bukan uang, melainkan minuman keras.
Mereka menyiapkan segalanya untukku. Mereka telah mengawasi lelaki itu berbulan-bulan dan mereka tahu ke mana dia pergi, pada jam berapa—meskipun dia orang penting, dia sering keluar bersama istrinya tanpa pengawalan, karena dia suka berpura-pura menjadi orang biasa atau ingin menjadi orang biasa. Mereka tahu dia tak paham bahwa itu mustahil baginya; dan itu membuat mereka bisa mengupahku untuk melakukan sesuatu.
Aku bukan siapa-siapa dan tak tercatat dalam sensus negara mana pun. Nama yang mereka berikan kepadaku tak pernah ada: jadi, tak ada pelaku untuk tindakan itu. Dia mengambil cuti, menggandeng lengan istrinya menuju restoran berpintu ganda sebagai penahan hawa dingin, restoran yang mereka datangi minggu demi minggu, dan setelah itu, meskipun aku sudah diberi tahu bahwa mereka selalu pulang ke rumah, mereka ternyata ke gedung bioskop. Aku menunggu. Aku memesan sebotol bir di bar, hanya itu, dan balik lagi.
Orang-orang yang keluar dari bioskop tak menunjukkan bahwa mereka mengenalinya, karena di negeri ini orang-orang suka membiarkan para pemimpinnya tampak seperti orang biasa. Dia menggandeng istrinya, seperti warga biasa, ke arah pintu masuk menuju stasiun bawah tanah, dan ketika dia mundur sedikit untuk memberi jalan bagi istrinya, aku melakukannya. Aku melakukannya seperti yang mereka inginkan, seperti saat mereka menguji kecakapanku—tepat di belakang kepalanya. Saat dia roboh, dan saat aku berbalik hendak lari, aku melakukannya lagi, seperti yang mereka inginkan, untuk memastikan.
Perempuan itu membuat kesalahan dengan berlutut di samping suaminya sebelum sempat menengadah untuk melihat siapa yang telah melakukannya. Ia hanya bisa menceritakan kepada polisi, surat kabar, dan para penyelidik bahwa ia melihat punggung seorang pria berpakaian gelap, berjaket kulit, melompat menaiki tangga menuju jalan kecil di samping stasiun. Kota ini penuh tangga-tangga curam dan gang-gang gelap. Ia tak pernah melihat wajahku.
Bertahun-tahun kemudian (aku membaca di koran), ia terus bercerita kepada orang-orang tentang bagaimana ia tak pernah melihat wajah itu, wajah orang yang telah melakukannya, bahwa kalau saja ia sempat menoleh beberapa detik lebih cepat, mereka pasti sudah bisa menemukanku. Pria tanpa-nama yang telah melakukannya itu akan menjadi aku.
Ia terus memikirkan bagian belakang kepalaku di bawah topi gelap (sebenarnya tidak gelap, lebih ke hijau muda bercampur cokelat, topi mahal yang kubeli dari uang itu, yang segera kulempar ke kanal bersama batu). Ia memikirkan leherku, bagian kecil dari leherku yang tampak di antara topi dan kerah jaket kulit (itu tak bisa kulempar ke kanal, jadi kuubah warnanya). Ia memikirkan kilau jaket kulit di pundakku, di bawah genangan cahaya lampu jalan di puncak tangga itu, dan kakiku yang bergerak sangat cepat. Aku lenyap saat ia menjerit.
Polisi menangkap seorang pengedar narkoba yang mereka dapati di ujung tangga. Perempuan itu tak bisa memastikan apakah itu pelakunya, sebab ia tak pernah melihat wajahnya. Sama saja dengan orang-orang lain yang diciduk polisi dari jalanan, orang-orang dengan catatan kriminal dan urusan politik; tak ada wajah yang bisa diingat. Maka aku tak punya alasan untuk takut. Sepanjang waktu aku dihalau dari satu negeri ke negeri lain; aku takut, takut karena tak punya surat-surat, takut diinterogasi, takut kelaparan, tapi sekarang tak ada lagi yang perlu ditakuti. Aku tetap tidak bicara.
Aku membaca surat kabar, mencari tahu bagaimana mereka menuliskannya. Penyelidikan tak pernah dihentikan, polisi, orang-orang, seluruh negeri ini terus mencari. Aku membaca semua teori; kadang, seperti sekarang, di kereta bawah tanah, aku membacanya di halaman balik koran yang sedang dibaca seseorang. Skenario Iran, katanya, karena negeri ini bermusuhan dengan pemerintahan sana. Upaya balas dendam dari Afrika Selatan atas sanksi negeri ini terhadap pemerintahan rasis di sana. Aku bisa mengatakan siapa pelakunya, tapi tidak mengapa. Ketika mereka membayar separuh uang pertama—seketika itu juga!—mereka tidak memberitahuku dan aku tidak bertanya. Lagipula untuk apa aku bertanya; tak ada pemerintah mana pun yang sudi menampung aku. Merekalah satu-satunya yang menawariku sesuatu.
Dan akhirnya aku hanya menerima separuh dari yang mereka janjikan. Dan tak banyak lagi yang tersisa setelah lima tahun, lima tahun bulan depan. Sesekali aku bekerja apa saja, supaya orang tak bertanya-tanya dari mana aku mendapatkan uang untuk membayar sewa kamar, dan sebagainya. Bekerja di arena pacuan, sekali dua kali di kelab malam. Tempat-tempat yang tidak akan pernah mencatatkan namamu di kantor tenaga kerja. Apa yang kupikirkan waktu itu dengan semua uangku jika mereka membayar penuh, sebagaimana yang mereka janjikan? Melarikan diri? Ke suatu tempat? Setiap kali aku berpikir pergi ke negeri lain, seperti yang mereka lakukan, menunjukkan kepada penjaga perbatasan surat-surat dengan nama palsu, memperlihatkan wajahku—
Aku tak bicara.
Aku tak bergaul dengan siapa pun. Bahkan tidak dengan perempuan. Di tempat-tempat aku pernah bekerja, sering ada yang menawariku pekerjaan, memindahkan barang curian, mengurus narkoba: orang-orang seolah bisa mencium bahwa aku ini siap disewa. Tapi aku tak ada! Aku tak ada di sini, di kota ini. Kota ini tak pernah melihat wajahku—hanya punggung seorang pria yang melompat menaiki tangga menuju gang di dekat stasiun kereta bawah tanah. Konon orang akan selalu kembali ke tempat di mana ia melakukan sesuatu. Aku tak pernah mendekat, tak pernah berjalan melewati stasiun bawah tanah itu. Aku tak pernah kembali ke tangga itu. Ketika perempuan itu menjerit saat aku menghilang, aku hilang selamanya.
Aku tak percaya ketika membaca bahwa mereka tak akan menguburkannya di tempat pemakaman. Mereka memakamkannya di sebidang taman kecil di depan gereja dekat stasiun bawah tanah. Itu tempat yang biasa saja, dengan beberapa pohon tua yang meneteskan air hujan ke jalan berkerikil, di pinggir jalan besar. Ada batu bertuliskan nama dikelilingi pagar rendah, hanya itu. Dan orang-orang datang pada jam makan siang, datang saat mereka berbelanja, datang dari stasiun kereta bawah tanah, keluar dari gedung bioskop itu, dan mereka berjalan di atas kerikil untuk berdiri di sana, di tempat ia berbaring. Mereka meletakkan bunga.
Aku sudah ke sana. Aku sudah melihat. Aku tidak menjauhi tempat itu. Bagiku, tempat itu sama saja dengan tempat lain. Setiap kali aku datang, mengikuti langkah kaki orang-orang di jalur kerikil itu, aku melihat anak-anak muda menangis; mereka menaruh bunga, kadang juga selembar kertas dengan baris-baris yang tampak seperti puisi (aku tak bisa membaca bahasa ini dengan baik), dan aku tahu penyelidikan itu terus berlangsung, tak akan berakhir sampai mereka menemukan wajah itu, sampai punggung pria tanpa-nama itu berbalik menghadap. Dan itu tak akan pernah terjadi.
Sekarang aku melakukan apa yang dilakukan orang-orang lain. Begitulah caranya agar tetap aman, sepenuhnya aman. Hari ini aku membeli seikat mawar merah murah dan meletakkannya di sana, di depan batu bertuliskan nama itu, yang dikelilingi pagar rendah, tempat namaku terkubur bersamanya.[]
*) Diterjemahkan oleh A.S. Laksana, dari “Homage”, dalam kumpulan Loot and Other Stories. Cerpen ini, menurut beberapa analisis, diilhami oleh penembakan terhadap PM Swedia Olof Palme pada 1986.

Nadine Gordimer, penerima Nobel Sastra 1991, lahir pada 20 November 1923 di Springs, sebuah kota pertambangan dekat Johannesburg, Afrika Selatan. Ia tumbuh dalam keluarga imigran kelas menengah: ayahnya, seorang Yahudi dari Lithuania; ibunya, perempuan Inggris yang liberal.
Gordimer mulai menulis sejak remaja, dan cerpennya pertama kali dimuat di majalah Forum pada usia lima belas tahun. Gordimer banyak menulis tentang kehidupan di bawah pemerintahan apartheid, dengan perhatian utama pada kontradiksi moral, segregasi rasial, dan kesunyian batin orang kulit putih liberal di tengah sistem yang menindas.
Ia menulis lebih dari dua ratus cerpen dan belasan novel. Karya-karyanya sering dilarang oleh pemerintah apartheid, dan ia secara terbuka mendukung gerakan African National Congress (ANC) serta bersahabat dengan Nelson Mandela. Ia meninggal pada 13 Juli 2014 di Johannesburg, pada usia 90 tahun.

Leave a Reply