Menunggu Restu

“Apa yang sebaiknya saya tulis?” Pertanyaan itu berbeda dari “Apa yang ingin saya katakan?”

Yang pertama menunggu restu, menunggu tren, menunggu jaminan bahwa tulisan akan disukai—entah oleh pembaca, entah oleh redaktur.

Yang kedua muncul dari dalam. Ada sesuatu yang terasa mendesak untuk disampaikan dan kamu tidak bisa berharap orang lain menuliskannya. Hanya kamu yang bisa menyampaikan.

Ada banyak pilihan, tentu saja.

Mengikuti arus atau menantangnya.
Mencari panggung atau menekuri gua pemikiran.
Menyelesaikan draft atau membuangnya dan mulai lagi dari awal.
Mengejar viral atau membangun diri dengan sabar.
Menulis setiap hari atau hanya ketika dada terasa sesak.

Terlalu banyak pilihan, terlalu banyak saran, terlalu banyak alasan untuk menyerah.

Dan hanya satu jalan untuk bertahan, ialah tekun dalam keyakinan.

Terlalu banyak pula yang menyerahkan kepala kepada algoritma. Jangan. Jangan melakukannya. Jangan tundukkan kepalamu kepada algoritma. Jangan gantikan ketekunan dengan mesin. Jangan tukar keyakinan dengan tepuk tangan.

Kamu akan kehilangan sesuatu yang berharga sekali kamu melakukannya, kehilangan peluang untuk membangun diri, kehilangan kesempatan menjadi tangguh.

Selalu ada tempat bagi mereka yang tangguh.

Salam,
A.S. Laksana



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Saya menulis artikel dan surat-surat tentang penulisan kreatif hampir setiap hari. Jika ingin menerima surat-surat dan artikel berikutnya via email, sila masukkan email anda di sini.