Mengapa Kamu Menulis Ruwet?

Halo D.,

Aku membaca cerpenmu semalam. Kamu menulis dengan tenaga, aku bisa merasakannya, tapi juga dengan beban yang tidak perlu. Setiap kalimat seolah-olah memaksa pembaca tahu bahwa kamu serius menulis. Aku paham dorongan itu. Hampir semua orang yang baru belajar menulis ingin terlihat bisa, ingin diakui, ingin membuat tulisan yang “berat.” Aku pernah pada posisimu.

Lama kemudian aku menyadari bahwa menulis fiksi bukanlah ajang untuk membuat kita tampak hebat. Ia lebih merupakan undangan kepada pembaca untuk mengalami dunia yang berbeda, untuk menyelami hidup yang tidak mereka jalani sendiri tetapi terasa dekat, dan melaluinya mereka bisa menarik kesejajaran antara dunia cerita dan dunia mereka sendiri.

Sekarang, tolong kamu pikirkan. Kenapa para penulis besar tidak menulis seruwet kamu menulis?

Padahal mereka memikul tema yang lebih besar, pertaruhan moral yang lebih berat, dan kehidupan yang jauh lebih kusut dari tokoh-tokoh yang kamu ciptakan. Tapi mereka menulis dalam kalimat-kalimat yang jernih.

Hemingway menulis tentang perang dan kehilangan dengan bahasa yang nyaris tanpa hiasan. Chekhov menulis tentang kehidupan yang pelik, tapi ceritanya terasa seperti percakapan yang tak pretensius. Camus menulis tentang absurditas kehidupan, tetapi kalimat-kalimatnya jernih. Mereka menulis sederhana bukan karena tidak sanggup menulis rumit, tetapi karena mereka mengerti cara menghadirkan dunia yang mereka bangun.

Tentu ada para pengarang yang menyajikan cerita rumit, menulis dalam kalimat yang rasa-rasanya tidak mungkin dibaca satu kali selesai—James Joyce, Virginia Woolf, William Faulkner, Toni Morrison, untuk menyebut beberapa nama. Tapi kerumitan mereka lahir dari kebutuhan.

Mereka ingin menyajikan dunia batin tokoh secara presisi, ingin pembaca ikut terperangkap dalam arus kesadaran, tumpang tindih ingatan, dan perasaan-perasaan yang tak pernah lurus. Itu kerumitan yang didorong oleh hasrat untuk menyampaikan sebenar-benarnya kondisi manusia, bukan karena penulisnya ingin terlihat pintar. Mereka menulis seperti itu karena hanya cara itu yang memenuhi pilihan estetika mereka.

Sekarang, yang perlu kamu tanyakan kepada diri sendiri bukanlah “bagaimana cara menulis seperti mereka,” tetapi “apakah kerumitan yang kutulis hari ini memang dibutuhkan oleh cerita?”

Kadang, cerita menjadi berat bukan karena kedalaman pemikiran yang disajikannya, tetapi semata-mata karena kalimat-kalimatnya ruwet.

Minggu depan, atau kapan pun kamu siap, bawalah cerpen barumu. Namun, sebelum menulis, tanyakan kepada dirimu sendiri apakah kamu sedang menulis untuk membuat orang kagum, atau untuk memperlihatkan kehidupan sebagaimana adanya.

Salam,
A.S. Laksana



Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Saya menulis artikel dan surat-surat tentang penulisan kreatif hampir setiap hari. Jika ingin menerima surat-surat dan artikel berikutnya via email, sila masukkan email anda di sini.