Yoshimoto Banana

Ia ke Buenos Aires untuk menyingkirkan kepedihannya, seperti hewan mendekam di kegelapan menjilati luka. Tapi di alun-alun Plaza de Mayo…. Ia menyaksikan para ibu berjalan pelan, membawa foto anak-anak mereka yang hilang. Yoshimoto Banana menuturkan duka para ibu dalam bahasa yang jernih dan tenang. “Ibu tetaplah ibu, dari negara mana pun asalnya, dan menjadi ibu memang hal yang menyedihkan.” — ASL
Aku sedang duduk di alun-alun di depan La Casa de Gobierno, tanpa merasakan apa pun yang berarti. Beberapa laki-laki berdiri di sekitar situ, bertingkah mencurigakan sehingga siapa pun bisa langsung menebak bahwa mereka pencopet. Anehnya, begitu aku memberi mereka tatapan tajam yang seolah berkata, “Ya, aku tahu kalian pencopet,” mereka tetap di sana. Sekarang, setiap kali pandanganku bertumbukan dengan salah satu dari mereka, ia akan menatap balik seolah kami saling kenal. Apakah hidup di sini memang sesulit itu, atau orang-orangnya memang sesantai itu? Aku tak paham … kota yang aneh, Buenos Aires.
Aku duduk di tepi taman bunga untuk melihat burung-burung merpati dan seorang nenek yang menjual makanan merpati. Ia tampak tidak memikirkan apa pun. Ia hanya datang untuk menghabiskan hari dengan menjual makanan merpati. Kurasa begitu juga perasaanku saat itu.
Di sisi lain alun-alun, kulihat tembok merah muda La Casa de Gobierno—“Gedung Pemerintahan.” Madonna pernah bernyanyi di sana dalam Evita. Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku sampai menonton film seperti itu? Begitu pertanyaan itu muncul, kenangan pun ikut muncul, sekali lagi. Malam diguyur hujan ketika aku menyewa video itu dan menontonnya di ruang tamu. Dia pulang di tengah-tengah film buruk itu. Separuh tubuhnya basah kuyup—ia bilang angin merobek payungnya. Aku mengambil handuk besar, mengeringkan kepala dan tubuhnya asal-asalan, seperti mengelap anjing atau kucing, lalu rebah lagi di sofa. Ruangan berbau hujan karena kehadirannya. Butir-butir air bening mengalir di kaca jendela. Jalanan di luar sunyi dan basah. Malam yang biasa, seperti malam-malam lainnya. Ia membuat kopi dan menyerahkan secangkir padaku. Cangkir itu kami beli bersama pada suatu Minggu, di toko barang antik dekat rumah. Kami harus berputar beberapa kali untuk mencapainya, dan … ya, saat itu bunga-bunga bermekaran, warna-warni, jalan terlihat putih disinari matahari, dan aku merasa seolah di surga. Bunga-bunga jingga, kuning, merah muda. Rumput hijau bergoyang ditiup angin. Aku punya terlalu banyak kenangan—seperti berdiri di antara dua cermin, memandang pantulan yang tak berujung. Sejarah kami berdua, milikku dan miliknya, hampir seluas dunia dalam versi miniatur, dan kini aku terputus dari semuanya.
Aku datang ke kota ini untuk mengunjungi seorang teman.
Temanku belajar tango dan jatuh cinta kepada instruktur dansanya, seorang pria Argentina, dan mereka menikah. Sekarang ia menjalankan semacam usaha kecil: menemani turis-turis Jepang berkeliling kota. Ia bukan pemandu resmi, tapi pekerjaannya cukup ramai. Katanya, ia dibayar di akhir tur, semacam uang tip. Suaminya sedang bepergian waktu itu, tur bersama murid-muridnya, jadi aku menginap di rumah mereka. Temanku sibuk di siang hari, mengantar tamu ke mana-mana, dan baru pulang malam. Aku menghabiskan waktu dengan bersantai menunggu dia pulang, hari demi hari. Menyenangkan rasanya sebebas itu; aku berharap bisa hidup begitu selamanya. Recoleta, kawasan tempat mereka tinggal, indah sekali—banyak pohon dan rumput—dan aku merasa segar hanya dengan berjalan tanpa tujuan. Aku berjalan dan berjalan saja, berusaha agar tidak berpikir. Hanya ketika kakiku mulai nyeri dan pikiranku menjadi tumpul, aku merasa akhirnya menjadi diriku lagi. Sedikit anggur di malam hari cukup untuk membuatku cepat tertidur.
Untuk sekarang, begini saja sudah cukup, kataku pada diri sendiri tiap malam, telentang di sofa lipat tak nyaman di rumah yang bukan milikku, dengan suara-suara asing dari kota asing mendengung di telinga. Aku harus memberi waktu pada diriku sendiri, itu saja yang bisa kulakukan. Seperti binatang liar yang mendekam di kegelapan, menjilati lukanya, menunggu, hanya menunggu, membiarkan waktu memulihkan tubuhnya yang demam. Yang terbaik untukku sekarang adalah tetap begini, tak melakukan apa pun, membiarkan jiwaku pulih sedikit demi sedikit, sampai aku bisa bernapas lagi dan berpikir serius tentang apa yang harus kulakukan.
“Ada pawai ibu-ibu bersyal putih di Plaza de Mayo hari ini, mulai jam dua,” kata temanku pagi itu sebelum berangkat. “Menontonnya memang tidak menyenangkan, tapi itu membuatku memikirkan apa saja. Benar-benar apa saja, sungguh. Maksudku, hal-hal yang baru berlalu. Kurasa kamu akan mengerti setelah melihat mereka. Kamu juga akan teringat orang tuamu di rumah.”
Maka aku datang ke alun-alun ini untuk menyaksikan arak-arakan itu. Tak lama, para ibu—yang sekarang sudah cukup umur untuk disebut nenek—mulai berdatangan, sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil, dengan syal putih menutup kepala. Beberapa wartawan datang untuk meliput, beberapa polisi berjaga. Dinding jambon La Casa de Gobierno tampak buram di bawah langit berawan. Mereka menambahkan darah lembu ke catnya untuk menghasilkan warna itu. Tiba-tiba kawanan besar merpati terbang, dan belasan perempuan tua bersyal putih mulai bergerak pelahan mengelilingi alun-alun. Beberapa lelaki tua berjalan bersama mereka, juga beberapa orang lain—mungkin keluarga. Para perempuan itu menggendong foto-foto lama. Foto para pemuda yang tersenyum, dan para gadis yang berpakaian rapi. Wajah-wajah mereka begitu manis dan tidak aneh-aneh, sehingga sulit dipercaya bahwa mereka pernah terseret dalam urusan yang amat mengerikan.
“Apakah anda dari Jepang?” tanya perempuan setengah baya di sampingku.
Ia tampak seperti orang Jepang, dan berbicara dalam bahasa Jepang.
“Ya, saya dari Jepang.”
“Saya datang kemari sebagai imigran. Kami tinggal di pinggiran kota. Waktu itu sangat mengerikan. Tiba-tiba saja kami hidup di bawah junta militer. Banyak orang hilang begitu saja. Mereka para mahasiswa yang dulu ikut politik kiri, kaum Peronis. Cuma ikut demonstrasi kecil—itu saja yang mereka lakukan. Hampir tak ada yang kembali.”
Ia memang Jepang, tapi cara berpakaian, ekspresi wajah, dan riasannya menunjukkan ia telah lama meninggalkan Jepang.
“Aku pernah menonton film tentang itu,” kataku.
Bagaimana aku bisa menonton film yang begitu meresahkan? Tampak para mahasiswa diculik dan dikumpulkan setengah telanjang; mereka dianiaya, disemprot air, lalu dibuang dengan mata tertutup. Para orang tua yang sekarang berjalan di alun-alun ini pasti dulu hidup dalam keputusasaan, tak bisa tidur setiap malam; tapi mereka tetap tinggal di rumah seperti biasa. Pada masa itu, mereka kehilangan sesuatu yang luar biasa penting—rasa akan sesuatu—untuk selama-lamanya. Anak-anak mereka, lelaki dan perempuan, kehilangan nyawa; para ibu kehilangan sebagian diri mereka.
“Suatu malam, truk militer masuk ke hutan dekat rumah kami,” kata perempuan itu. “Kami ketakutan, tak berani keluar. Tak lama kemudian terdengar tembakan beruntun, orang menjerit dan mengerang, lalu datang truk besar lainnya, lalu sunyi lagi. Esok paginya, saat kami ke hutan, tanahnya penuh darah. Begitulah tiga puluh ribu orang menghilang.”
Aku mengangguk tanpa bicara, memandangi arak-arakan itu.
Aku sadar bahwa merpati dan para pencopet itu, imigran di sampingku, para turis, kami semua sekadar datang kemari. Kau bisa mengatakan, saat melihat para ibu bersyal putih itu berjalan pelan-pelan mengelilingi alun-alun, bahwa mereka tak lagi berharap anak-anak mereka bakal kembali. Mungkin ini cara mereka mengungkapkan frustrasi yang tak berkesudahan, cara mereka memberi bentuk pada waktu yang telah mereka jalani, cara mereka menolak melupakan apa yang terjadi—dengan berada di sini, seperti ini, sekarang ini. Sambil menggendong foto putra-putri mereka, para perempuan tua itu saling bercakap-cakap. Justru itu yang membuat kenyataan terasa menusuk. Begitulah semuanya, pikirku. Beginilah waktu berlalu. Beginilah warna duka.
Duka tak akan pernah tersembuhkan. Kita hanya terhibur oleh kenyataan bahwa kepedihannya terasa memudar. Betapa remeh dukaku sendiri dibandingkan duka mereka. Dukaku tak punya dasar yang nyata, tak ditopang oleh ketidakadilan sebesar itu. Ia hanya mengapung tak jelas. Akan tetapi, biar bagaimanapun, bukan berarti yang satu lebih bernilai atau lebih dalam ketimbang yang lain. Kami semua berada di alun-alun ini. Aku membiarkan diriku melamun.
Suatu pagi, anak lelakinya yang sedang di puncak masa remaja berangkat sekolah seperti biasa, nyaris tak meneguk kopi, tinggi, kurus, mengenakan jins kesayangan. Bagi ibunya, ia masih sama saja, masih tetap bocah seperti dulu. Dalam gambaran bocah semacam itulah semua kenangan si ibu tetap tinggal. Anak itu tak pernah menceritakan kepada ibunya bahwa ia pernah ikut demonstrasi, hanya terlibat sambil lalu, dan mungkin hanya karena teman-temannya ikut. Ia tak pernah kembali. Seperti apa rasanya itu? Tak ada yang tahu pasti apa yang terjadi sampai kekacauan politik mereda setelah kudeta. Tak ada yang berani menolong anak itu karena semua orang ketakutan. Desas-desus mengerikan beredar dan membuat si ibu bingung; tak ada kabar baik. Sebagian dari mereka beruntung bisa pulang dari kamp penahanan dan selanjutnya hidup dalam ketakutan, dan cerita mereka membuat bulu kuduk si ibu berdiri… Aku masih SMA saat hal itu terjadi, tapi ini bukan peristiwa yang jauh. Ini bukan tentang Kekaisaran Inka. Ini tidak terjadi di masa perang. Aku masih di Jepang saat itu, tinggal bersama orang tuaku, membangkang terhadap mereka, pulang pagi, melakukan hal-hal remaja, dan semua itu terjadi, di sini, di tanah ini. Itu sungguh mengerikan—aku hampir pingsan memikirkannya.
Aku merenung.
Mengapa, di waktu ini, di bawah langit mendung yang lesu ini, di sore seperti ini, kami—mereka dan aku—bersinggungan di alun-alun yang biasa-biasa saja ini?
Aku melihat seorang perempuan gemuk di antara para ibu itu; ia mirip ibuku sendiri. Semakin lama aku memandanginya, semakin mirip ia, hanya warna matanya berbeda. Kupikir caranya menggerakkan tubuh pun sama.
Setiap kali aku pilek, ibuku menyiapkan minuman, air panas diberi madu, sedikit wiski, dan perasan lemon. Ia masih membuatkannya ketika aku sudah SMA. Pada malam-malam ketika anak-anak itu disiksa dan mengucurkan darah di tempat ini, aku sedang dimanjakan oleh ibuku. Begitukah dunia ini? Sesederhana itu? Entah mengapa, ibuku menyebut minuman itu “madu lebah.” Berapa kali pun aku mengatakan lebih cocok disebut “madu lemon,” ia bersikeras bahwa nama pemberiannya lebih indah dan tetap memakai nama itu. Aku bisa merasakan hangat dan manisnya memenuhi mulutku. Itu sama di seluruh dunia. Aroma ibu. Jejak tubuh perempuan, sesuatu yang berat, manis, dan tanpa ujung. Aroma itu sekarang ada di sini, memenuhi alun-alun, mengelilinginya, karena tak ada jalan keluar lainnya.
“Ini konyol! Kamu tak bisa berpisah dengan alasan ini!” seru ibuku di ujung telepon. “Pernikahan berumur panjang, apa saja bisa terjadi. Kalaupun akhirnya kamu berpisah, setidaknya bertahanlah dua atau tiga tahun lagi.”
“Kalau aku menunggu lebih lama, aku tak akan punya kesempatan kedua,” jawabku.
“Di usiamu, dua tiga tahun tak ada artinya,” kata ibuku.
Adegan berbeda terlintas: aku membenamkan wajah ke sofa, menangis histeris ketika kucing kami mati; ibuku mengelus rambutku dengan gerakan kasar, tapi ujung jari-jarinya lembut.
Kalau saja suamiku tak lagi mencintaiku! Kalau saja cintanya lenyap begitu saja! Kalau saja kekasihnya perempuan yang jahat dan menjijikkan! Tapi hidup tak segampang itu. Ia masih menunjukkan cintanya dengan meneleponku setiap malam sejak aku tiba di sini. Suaranya terdengar ragu, dan tangannya tak sehangat tangan ibuku—apakah itu jarak di antara kami? Kupikir kami telah menjadi keluarga, padahal sebenarnya kami hanya dua orang asing yang mencoba berkompromi. Namun, aku merasa akan menyerah malam itu, akhirnya, dihantui kenangan akan tahun-tahun bersama itu; aku ingin bercerita kepadanya, lewat telepon, tentang perasaanku setelah melihat para ibu ini. Alangkah membingungkan…. Malam ini, dengan membawa kebingungan itu, aku akan berbaring lagi di sofa lipat, di rumah temanku. Aku merasa, setelah melihat para ibu itu dengan mata kepala sendiri, bukan di film, bukan di buku, tapi menyaksikan mereka, mendengar suara mereka, melihat rok mereka tertiup angin, dan melihat mereka tertawa sambil mengobrol—semuanya datang bersamaan ke dalam diriku, membentuk satu inti, sesuatu yang mungkin akan mengubahku, sedikit saja. Tiba-tiba aku melihat diriku sendiri, seperti apa aku, seseorang yang datang dari tempat jauh, sangat jauh.
Beberapa ibu lain, dengan kain hitam dan syal putih, membuka lapak di sisi lain alun-alun. Aku berjalan ke sana. Mereka menjual video, pamflet, kartu pos, kaus. Di papan tertulis bahwa hasil penjualan digunakan untuk mendukung kegiatan mereka. Aku sudah mengambil satu kaus dan berniat membayarnya ketika seorang ibu bersyal putih menegurku. Aku tak tahu harus bagaimana, sebab aku tak paham bahasa Spanyol, tapi perempuan muda di dekatku—mungkin wartawan—menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris.
“Dia bilang ukuran S mungkin lebih pas. Sekarang orang-orang menyukai kaus yang agak kecil.”
Aku tersenyum. Alangkah kuat perempuan itu, dan tentu ia sendiri dulu juga punya anak…. Ibu tetaplah ibu, dari negara mana pun asalnya, dan menjadi ibu memang hal yang menyedihkan. Apakah aku akan menjadi ibu suatu hari nanti? Apakah aku akan bisa melihat mereka—memahami mereka—dengan cara yang berbeda? Tak ada jawaban atas apa pun, tapi entah bagaimana semuanya terasa baru. Aku membeli kaus itu, mengucap terima kasih, dan meninggalkan alun-alun.[]
*) Diterjemahkan oleh A.S. Laksana dari versi Inggris “Bee Honey” oleh Michael Emmerich.
**) Yoshimoto Banana mengatakan bahwa dua tema utamanya adalah “kelelahan anak-anak muda Jepang di era Jepang kontemporer” dan “bagaimana pengalaman mengerikan membentuk kehidupan seseorang”.
Tulisannya berbicara kepada pembaca dengan cara yang pribadi dan ramah, hangat dan polos, tentang hal-hal sederhana. Makanan dan mimpi adalah tema berulang dalam karya-karyanya yang sering berkait dengan kenangan dan emosi. Yoshimoto mengakui bahwa sebagian besar inspirasi artistiknya berasal dari mimpinya sendiri dan bahwa ia ingin selalu tidur dan menjalani kehidupan yang penuh mimpi.

Leave a Reply