Teman baikku,
Kamu merasa ragu? Langkahmu baru setengah jalan dan layar sudah ditutup?
Selamat datang di klub.
Kita di perahu yang sama, dihantui pertanyaan yang sama: “Untuk apa belajar menulis jika media berguguran, tulisan tidak dibayar, dan orang lebih suka menonton video singkat ketimbang membaca?”
Pertanyaan itu seperti pukulan keras. Rasanya seperti baru menempuh satu babak, tapi kamu dipaksa berhenti.
Tapi tunggu dulu. Bagaimana jika kita melihatnya secara berbeda? Maksudku, ketimbang merasa bahwa semuanya sudah berakhir, kamu bisa mengatakan: “Oke, permainan sesungguhnya baru dimulai.”
Beberapa orang mungkin merasa penting menempatkan nama di koran dan mendapatkan honor. Tapi itu bonus. Itu konsekuensi. Dan menulis bukan cuma perkara publikasi.
Menulis adalah latihan untuk melampaui batas-batas remeh semacam itu. Sama dengan atlet yang tetap berlatih ketika paru-parunya terasa terbakar, penulis pun tetap meningkatkan kecakapannya, bahkan ketika otaknya menjerit: “Untuk apa semua ini?”
Dunia bisa berubah, media bisa bangkrut, redaksi bisa tak lagi membayar, tapi tulisan tak boleh mati. Kamu bisa menulis untuk satu orang saja—untuk dirimu sendiri, bahkan—dan kadang itu cukup sebagai alasan untuk belajar.
Sekarang, mari kita mundur sejenak. Kita lihat sejarah. Banyak penulis besar lahir bukan karena dihargai media, melainkan karena mereka keras kepala. Mereka terus menulis meski tak ada yang mau membaca. Kafka tak mendapatkan ketenaran semasa hidup. Emily Dickinson hampir sepanjang hidup menulis dalam kesunyian. Mereka tetap menulis. Bukan untuk pasar, bukan untuk redaksi, tapi karena itulah cara mereka bernapas.
Kamu mungkin berkata: “Tapi itu mereka.” Benar. Tapi bukankah setiap penulis memulai dari titik yang sama? Duduk sendiri, berkutat dalam hubungan cinta-benci dengan kalimat, dan tak pernah tahu apakah ada yang peduli.
Seorang atlet bisa berkata, “Rasa sakit adalah bagian dari permainan,” maka penulis seharusnya bisa juga berkata, “Ketidakpastian adalah bagian dari permainan.”
Dan di situ ada hal berharga. Kamu akan mendapati bahwa latihan menulis membuatmu berpikir lebih jernih, membuatmu lebih berani menyelami pikiran sendiri, membuatmu cakap mengajukan pertanyaan.
Maka, kuharap kamu terus menulis meski jalan publikasi tampak sempit. Katakan kepada diri sendiri: “Aku sedang melatih otot yang tak terlihat di tubuhku: otot ketekunan, otot kejernihan berpikir, otot keteguhan.
Media bisa mati, tak perlu dipungkiri, namun tulisanmu bisa tetap hidup. Dan suatu hari, ketika orang lain sudah menyerah, kamu tetap tegak.
Dan jika kamu bertanya lagi, “Untuk apa belajar menulis?” jawabannya sederhana: untuk menemukan dirimu, untuk menguatkan orang lain, untuk meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus.
Jadi? Tetaplah belajar, tetaplah menulis. Tidak untuk media, tidak untuk honor, tapi untuk dirimu sendiri—dan untuk suara yang hanya bisa lahir dari tanganmu.
Selalu mempercayaimu,
A.S. Laksana
Leave a Reply