Kisah Tanah

Sarah Ali

– Untuk Ayah

Aku menatap matanya yang berkaca-kaca dan melihat sesuatu yang menyerupai kebahagiaan di sana. Aku tersenyum. Ayahku telah kembali. Dia bukan lagi orang asing yang tak kukenali sepenuhnya dalam tiga tahun terakhir. Dia bukan lagi sosok pendiam yang linglung, memandangi dinding sepanjang waktu, dan hanya mengangguk tanpa minat setiap kali disapa oleh siapa pun di rumah. Dia hidup lagi. Dia menyadari kehadirannya. Dia benar-benar mendengarkan saat aku berceloteh tentang nilai tinggi yang kuperoleh. Satu panggilan telepon dan selembar kertas dari lembaga yang disponsori Turki telah mengembalikan ayahku. Aku menatap matanya lagi, kali ini lebih teliti, khawatir pandangan pertamaku keliru.

Kami sedang memperingati Hari Tanah saat ini, menghormati orang-orang yang membela tanah mereka pada 1976, saat Israel mengumumkan akan menyita ribuan dunum tanah Palestina. Enam orang tewas—30 Maret.

Tanggal itu mengembalikan kenangan akan tanah kami, tanah ayahku.

Beberapa minggu lalu, kami menerima panggilan telepon yang memberitahu bahwa ayahku terpilih untuk program pemulihan yang didanai Turki. Mereka ingin membantu petani Gaza, yang tanahnya rusak akibat serangan Israel pada 2008, agar bisa menanam kembali pohon-pohon mereka. Mereka menyediakan pagar, stek pohon, bibit, benih, dan sistem pengairan. Ayahku menolak mengajukan diri ke lembaga yang memberi bantuan uang. Uang tidak menggantikan tanah, katanya.

Ayah lahir dari keluarga petani, tetapi dia tidak mengikuti jejak itu. Dia belajar di Mesir dan menghabiskan sebagian besar masa mudanya sebagai jurnalis, terutama sebagai kolumnis ekonomi dan politik, ilmu yang dia pelajari di perguruan tinggi, untuk surat kabar di Kuwait. Namun, saat kembali ke Gaza, dia harus merawat sebidang tanah yang diwariskan kakekku untuknya. Itu tidak sulit baginya. Dia mencintai tanah, salah satu dari sedikit hal yang dia pedulikan, dan dia sabar mengolahnya. Seolah-olah dia ingin membangun surga di bumi.

Lalu Israel menyerang, dua puluh tiga hari. Selama serangan itu, kami terus menerima kabar bahwa tanah-tanah diratakan oleh buldoser Israel. Kami diberitahu bahwa ribuan pohon telah lenyap. Kami diberitahu bahwa pohon-pohon milik paman-pamanku lenyap. Kami diberitahu bahwa pohon-pohon kami lenyap. Kami diberitahu bahwa Sharga, seluruh distrik lahan pertanian di timur, telah musnah. Tapi itu hanya kabar burung.

Setidaknya, ayahku ingin mempercayai bahwa itu hanya kabar burung. Kami berharap tanah kami masih utuh, sama sekali tak tersentuh. Kami berpikir bahwa pohon-pohon milik orang lain bisa saja dicabut, tapi pasti bukan zaitun kami yang indah tak tertandingi. Pasti bukan pohon-pohon yang bagi ayahku adalah satu-satunya hal yang dia banggakan untuk membuktikan bahwa dia tak kalah sebagai orang Gaza dibandingkan mereka yang berulang kali mencibirnya. Mereka mengatakan ayahku “sembrono meninggalkan tanah emas hitam.” Mereka pikir dia berenang di kolam minyak Kuwait setiap hari, tetapi ayahku meyakini bahwa ini—tanah iniadalahtanah al-zait al-muqaddas, tanah minyak suci.

Langit Gaza kembali biru. Semuanya telah usai; berita mengatakan bahwa semuanya telah usai. Ayahku pergi ke sana. Dia pergi untuk memeriksa tanah itu. Dia mempercayai bahwa zaitunnya adalah pengecualian, dan dia pergi ke sana. Dia yakin ada bintik putih kecil di hati para operator buldoser yang akan membuat mereka tersentuh oleh keindahan tanah kami, dan mereka akan mendengarkan suara batin yang meminta jangan meratakan tanah ini. Dia yakin pada kebaikan manusia, dan dia mempercayai keyakinannya. Dia yakin pada Tuhan, dan dia mempercayai keyakinannya.

Kakakku, yang menemaninya, kemudian bercerita bahwa yang mereka lihat di sepanjang jalan hanyalah tanah-tanah yang hancur, dipenuhi pohon-pohon yang diratakan oleh buldoser, yang sepertinya cukup untuk kebutuhan kayu bakar keluarga selama bertahun-tahun. “Ayah menangis saat melihat orang-orang menangis,” kata kakakku. Mereka terus berjalan, dan melihat lebih banyak pohon tumbang, dan pohon-pohon kami bukan pengecualian. Pohon-pohon kami telah lenyap. Kepahitan dan penyangkalan campur aduk di tempat itu. Keyakinan ayahku, aku bisa merasakannya, hancur berkeping-keping. Dunia tampak seperti tempat yang buruk.

Satu pohon kami, yang kemudian dibicarakan banyak orang, masih berdiri di tempatnya. Itu pohon yang tumbuh miring. Seminggu sebelum serangan, ayahku memberitahu kakakku bahwa pohon itu harus ditebang, dan mereka berencana menebangnya. Dan pohon itulah satu-satunya yang dibiarkan oleh tentara Israel. Sekarang, setiap kali sepupu-sepupuku ingin membuat ayahku merasa sedikit lebih baik, mereka akan berkelakar tentang kejadian itu. “Tentara-tentara itu rupanya tahu kamu berencana menebang pohon itu,” kata mereka, “maka mereka memutuskan untuk tidak merobohkannya sendiri.” Semua orang akan tertawa oleh lelucon itu. Ayahku tidak. Tanah dan kebun zaitun baginya bukan bahan tertawaan.

Hari itu, saat mereka pulang dari tanah yang dihancurkan, kakakku menceritakan apa yang dia lihat. Dia bilang pohon-pohon itu dicabut—“Al-shajar tjarraf,” dia terus mengulang. Ayahku ada di kamarnya, menangis. Selama berminggu-minggu setelah kunjungan ke tanah itu, dia memiliki jadwal harian: pagi hari dia berdoa dan membaca Alquran; malam hari dia menangis.

Membicarakan tanah, rumah, dan harta yang direnggut selama atau tepat setelah serangan Israel akan terdengar seperti pengkhianatan—dingin dan tak berperasaan terhadap orang-orang lain. Ketika orang-orang meninggal, kamu tidak bisa berbicara tentang rumah indahmu yang hancur rata tanah. Ketika orang-orang kehilangan kaki dan tangan mereka, menjadi cacat seumur hidup, kamu tidak layak berbicara tentang mobil mewahmu yang dulu tampak seperti vas bunga menghiasi jalan-jalan di lingkunganmu yang bersahaja dan kini menjadi puing abu-abu. Ketika seorang ibu menguburkan anaknya sebelum sempat mengucapkan selamat tinggal, kamu tidak semestinya berbicara tentang tanahmu dan pohon-pohonmu yang dicabut tanpa belas kasihan. Orang-orang itu meratap. Mereka menangis. Mereka berduka. Kamu mendengarkan. Dan untuk penderitaanmu sendiri, yang tak seberapa dibandingkan mereka, kamu berduka dalam diam. Itu sepertinya yang membuat ayahku semakin menderita.

Baru-baru ini, aku bertanya tentang pohon-pohonnya yang ditumbangkan, jumlahnya, dan usianya. “Mengapa kamu bertanya? Apa kamu mendaftar ke salah satu lembaga amal yang lebih suka menawarkan uang dan sekantong tepung ketimbang membantu orang menanam kembali pohon mereka? Kita tidak butuh itu! Mereka sudah mengirimkan pekerja dan petani untuk membangun kembali tanah kita. Masih mau mendaftar ke lembaga amal?”

“Tidak, Baba! Aku cuma ingin menulis sesuatu untuk blogku.”

“Blog? Baik, apa pun itu!”

“Jadi, berapa banyak pohon yang dicabut? 180 pohon zaitun kalau tidak salah, dan…?”

“189 pohon zaitun. 160 pohon lemon. 14 pohon jambu…” dia berteriak, kesal karena aku salah menyebut angka.

Aku menunduk malu, dan pikiranku terhenti ketika dia melanjutkan, “Lain kali kamu memutuskan untuk melakukan apa pun, pastikan angkanya benar!”

Aku tak menjawab.

“Kamu dengar aku? Itu 189 pohon zaitun. Bukan 180. Bukan 181. Bahkan bukan 188. 189 pohon zaitun.”

Dia meninggalkan ruangan beberapa menit kemudian. Aku merasa sangat bersalah.

Para tentara Israel sanggup menghancurkan 189 pohon zaitun di tanah yang mereka katakan sebagai “Tanah pemberian Tuhan”—itu tak bisa kupahami. Apakah mereka tidak berpikir bahwa Tuhan bisa marah? Apakah mereka tidak menyadari bahwa yang mereka tumbangkan itu pohon? Jika Palestina menciptakan buldoser dan aku diberi kesempatan berada di kebun, katakanlah di Haifa, tak akan pernah aku menumbangkan pohon yang ditanam oleh orang Israel. Tak ada orang Palestina yang akan melakukannya.

Bagi orang Palestina, pohon itu suci, begitu pula tanah yang menyangganya. Dan saat aku bicara tentang Gaza, aku teringat bahwa Gaza hanyalah sebagian kecil dari Palestina. Aku ingat bahwa Palestina lebih besar dari Gaza. Palestina adalah Tepi Barat; Palestina adalah Ramallah; Palestina adalah Nablus; Palestina adalah Jenin; Palestina adalah Tulkarm; Palestina adalah Betlehem; Palestina, yang terpenting, adalah Yafa dan Haifa dan Akka dan semua kota yang Israel ingin kami lupakan.

Hari ini aku menyadari bahwa bukan panggilan telepon yang mengembalikan ayahku, juga bukan kertas yang ditandatangani oleh lembaga bantuan, tapi kenangannya akan tanah yang dihidupkan kembali: kenangannya tentang pohon zaitun yang memberi rasa aman setiap kali dia duduk di bawahnya, menikmati naungannya, dan menghindari sinar matahari yang membakar; kenangannya tentang minyak emas, minyak terbaik dan paling murni, yang dituang ke dalam jerigen dan diberikan kepada keluarga dan teman-teman sebagai hadiah; kenangannya akan tahun-tahun panjang mencintai tanah, tahun-tahun memberi dan merasa memiliki.

Ada ikatan yang tak bisa diputuskan antara ayahku dan tanahnya. Kamu tidak bisa memutus hubungan itu pada orang Palestina. Dengan terus-menerus mencabuti tanaman dan menebangi pohon, Israel berusaha memutus ikatan itu dan memaksakan aturan mereka pada orang Palestina. Dengan menanam kembali pohon-pohon mereka, terus melakukannya berulang-ulang, orang Palestina menolak aturan Israel.

“Tanahku, aturanku,” kata ayahku.[]



*) Diterjemahkan oleh A.S. Laksana dari versi Inggris “The Story of The Land”, dalam buku kumpulan Gaza writes back : short stories from young writers in Gaza, Palestine, terbit 2014.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Saya menulis artikel dan surat-surat tentang penulisan kreatif hampir setiap hari. Jika ingin menerima surat-surat dan artikel berikutnya via email, sila masukkan email anda di sini.