Cyril

Umar Kayam

Jam di kamar menunjukkan bahwa hari sungguh tidak terlalu pagi lagi.
Seperti sebagian dari satu upacara yang tiap pagi tak boleh dilampaui, Ibu Cyril bergegas mengenakan pakaiannya sambil mengeluh:

“Ya Allah, sudah jam setengah sembilan. Aku pasti terlambat lagi.”

Dan berikutnya suara gemerisik pakaiannya, keriut sepatunya terantuk-antuk kursi atau meja mengiringi kesibukan paginya.

“Cyril! Cyril!”

“Yaaa!”

“Di mana kau?”

“Di sini. Di dapur.”

“Kopiku sudah?”

“Tidak ada kopi. Habis.”

“Habis?”

Bibirnya dikatupkan untuk meratakan lipstiknya dan tok-tok-tok si Ibu bergegas ke dapur.

“Habis katamu?”

“Ya.”

“Mengapa tidak kau bilang semalam, dungu?”

“Aku lupa. Maaf.”

“Lupa. Enak saja lupa. Masa anak perempuan sudah lima belas tahun dikasih kewajiban bikin kopi saja tidak becus.”

Cyril diam. Matanya menatap keluar jendela. Dua ekor burung gereja sedang asyik bercumbu.

“Kau memang suka kalau aku pening kepala pagi begini, ya?”

Cyril tersenyum karena seekor burung gereja datang lagi, dan bertiga beramai-ramai saling bercumbu.

“Dasar anak sial. Uuuh!”

Pening kepalanya terasa lagi. Lupa atau tidak, tak peduli bahwa hari memang sudah siang, si Ibu duduk di kursi, kedua tangannya memijit-mijit kepalanya. Sebentar kemudian heeeeeek dia pun bersendawa. Bau whisky menerobos keluar dari mulutnya, meskipun paginya tidak lupa berkumur. Kemudian, seperti tiba-tiba ingat sesuatu, dia membalikkan kepalanya ke arah anaknya yang sedang asyik menatap keluar jendela.

“Cyril!”

“Ya.”

“Jangan dikira aku tidak tahu, ya?”

“Tidak tahu apa?”

“Kau minum whisky-ku lagi! Aku tahu isinya berkurang semalam. Ayo, mengaku kau anak harrr…!”

“Tapi, tapi…”

“Apa tapi.”

“Tapi aku cuma menjilat sedikit saja.”

“Bohong! Paling sedikit setengah seloki. Aku heran kenapa kau tidak mampus. Itu straight whisky yang kau minum.”

Cyril diam.

“Kenapa, kenapa kau coba minum?”

“Chip mengejekku kemarin.”

“Chip Henderson?”

“Ya. Dia bilang aku penakut.”

“Hm. Lalu siapa yang mengisap cerutuku?”

Cyril tidak menjawab.

“Ha, jangan dikira aku tidak tahu cerutuku hilang satu. Ayo, siapa? Chip, Chuck, Jimmy, siapa?”

“Aku.”

“Kau? Cyril, Cyril… Anak perempuan apa kau ini?”

“Tapi aku selalu ingin mengisap cerutu. Tiap kali Harry…”

“Mr. Robertson.”

“Maaf. Tiap kali Mr. Robertson mengisap cerutu malam-malam sebelum tidur di kamarmu…”

“He, he, tutup mulutmu, setan!”

“Tapi Mommy, bukankah dia selalu tidur di kamarmu tiap kali dia kemari?”

“Sudah, sudah. Aku harus kerja sekarang. Ini satu dolar buat makan siang dan jajanmu.”

“Terima kasih.”

“Berjanjilah, Cyril, kekasihku, biji mataku.”

“Apa?”

“Jangan minum whisky dan mengisap cerutu lagi. Please?!”

“O.K.”

“Mau main ke mana kau hari ini?”

“Oh, tak tahulah. Anak-anak pada pergi ke camp musim panas ini. Kenapa aku tidak Ibu kirim ke camp seperti mereka?”

“Tapi Cyril, kau tahu berapa gajiku sebagai pelayan restoran.”

“Ya, ya.”

“Mungkin tahun depan. Siapa tahu.”

Dan dengan bergegas si Ibu berjalan keluar apartemen, turun lima puluh tujuh tangga, terus ke jalan membelok tikungan.

Musim panas tidak pernah menyenangkan di New York. Sudah seminggu berturut-turut panasnya mencapai pukul rata 90 derajat F. Mereka yang tidak punya pendingin udara atau kipas angin, membuka pintu rumah dan jendela lebar-lebar, berharap-harap ada sedikit angin yang bisa menerobos masuk. Ternyata usaha itu tidak banyak menolong.

Di mana-mana orang mengeluh bahwa musim panas tahun ini jauh lebih panas dari tahun yang lalu.

Cyril kepanasan di dapur. Buru-buru dihabiskannya mata sapi dan toast-nya serta diteguknya susunya dari gelas. Kemudian di kamar digantinya bajunya dengan blus tanpa lengan dan celana bermuda yang rada kependekan. Dikenakannya sepatu putih karet tanpa kaus, dan siaplah. Siap ke mana?

Itulah yang kemudian dipikirkannya. Disisipkannya satu dolar dari ibunya ke dalam saku celana, dan pelan-pelan ia pun keluar meninggalkan apartemen.

Sambil melompat-lompat turun tangga, dia melagu ke-ma-na, ke-ma-na, ke-ma-naaa.

Tiap sampai pada ke-ma-naaa dia agak heran dan terkejut karena keluarnya keras sekali. Tapi kemudian dia tersenyum kesenangan karena suara itu entah bagaimana memberi perasaan yang menyenangkan.

“Halo, Cyril.”

“Hi.”

Dan Cyril terus berjalan, tak ingat lagi dengan siapa dia bersalam.

Jalan tempat dia tinggal tidak berpohon. Mobil-mobil berderet diparkir di kiri dan kanan jalan. Seorang dua orang tampak menyeret kereta penuh dengan bungkusan-bungkusan belanjaan dari supermarket. Seekor anjing pincang terjingkat-jingkat menyeberang jalan.

Ke-mana, ke-ma-na, ke-ma-naaaa.

“Cyril, Cyyriil!”

Ke-mana, ke-ma-na, ke-ma-naaaa…”

“Cyril, Cyyriil!”

Ke-mana, ke-ma….

Cyril menoleh. Tampaklah Nyonya Johnson melambaikan tangannya, memberi isyarat agar Cyril mau ke rumahnya.

“Cyril, kau tentu mau menolongku.”

“Hi, Nyonya Johnson.”

“Hi, Cyril, kau tentu mau menolongku.”

“Menolong apa?”

“Aku mau titip Susan sampai nanti sore.”

“Nyonya mau ke mana?”

“Oh, aku harus pergi untuk urusan penting. Susan tidak mungkin aku ajak.”

Waktu Cyril tidak memberikan reaksi apa pun, Nyonya Johnson meneruskan:

“Ajaklah ke mana kau suka. Ke taman, ke bioskop, ke rumahmu, suka-suka hatimu. Tapi jangan lupa kasih dia makan. Ini satu dolar buat makan Susan dan ini tiga dolar buat kau. Aku akan pulang antara jam tiga dan empat begitu. Di mana kau dan Susan akan berada pada jam itu? Di sini, di rumahku, atau di rumahmu?”

Cyril sambil memasukkan uangnya ke dalam sakunya, acuh tak acuh menjawab:

“Oh, tak tahulah aku, Nyonya Johnson. Mungkin di sini, mungkin di rumahku.”

“Baiklah, kalau tidak aku temui kalian di sini, tentulah kalian di rumahmu. Susan, Susan! Kemarilah kau!”

Seorang anak perempuan kira-kira berumur enam tahun keluar dari dalam rumah.

“Baru apa kau?”

“Nonton TV sama Mr. Todd.”

“Kau akan main dengan Cyril hari ini. Ibu harus pergi sampai nanti sore. Kalau lapar Cyril akan belikan makananmu nanti.”

“Hi, Susan.”

Nyonya Johnson masuk ke dalam rumah untuk berganti pakaian. Tidak berapa lama dia pun keluar, memberi beberapa instruksi pada Cyril, lalu pergi.

“Cyril, ke mana kita hari ini?”

“Oh, tak tahulah.”

“Ke rumahmu nonton TV? Main fish? Kau tahu main fish? Aku pandai main fish. Nanti aku ajar kau. Kau punya kartu bukan? Kalau nggak punya nanti biar kita pakai kartu bapakku. Biar aku ambil sekarang, ya, Cyril?”

“Tunggu, tunggu dulu, Susan. Kita tidak pergi ke rumahku, kita tidak tinggal di sini dan kita tidak main fish.”

“Oh? Kita pergi jauh?”

“Ya, ya, jauh.”

“Jauh sekali?”

“Jauh sekali.”

“Oh, bagus, bagus. Aku suka pergi jauh. Ke mana, Cyril, bilanglah!”

“Oh, jauh. Ayo, kita berangkat sekarang.”

“Tapi tunggu dulu.”

“Kenapa?”

“Karena pergi jauh, aku mesti ajak Mr. Todd.”

“Siapa Mr. Todd?”

“Mr. Todd? Anjing-anjinganku. Tunggu sebentar aku ambil dia.”

“Tapi Susan…”

Tapi Susan sudah berlari ke dalam mengambil Mr. Todd. Beberapa menit kemudian dia keluar melompat-lompat kegirangan dengan Mr. Todd. Mr. Todd adalah anjing kecil yang cantik. Pakai jas cokelat dan dasi kupu merah, serta celana biru dan sepatu.

“O.K., Cyril, aku dan Mr. Todd sudah siap sekarang.”

Tanpa membilang sesuatu Cyril menarik tangan Susan. Mereka terus berjalan, berjalan dan berjalan. Di dekat tikungan jalan kira-kira setengah blok dari tempat mereka berangkat, ada tanda pemberhentian bis. Cyril berhenti.

“Kita mau ke mana, Cyril? Naik bis?”

“Ya, naik bis.”

“Aku senang sekali naik bis. Ke mana, Cyril?”

Cyril tidak menjawab. Karena sinar matahari menyilaukan matanya, tangannya diangkatnya ke dahi buat melindungi matanya.

“Cyril, aku kepingin lolly. Kau ada uang dari Ibu, kan?”

“Ya, ya, ada.”

Tapi Cyril tidak bergerak, matanya mengawasi jalan, melihat kalau-kalau bis sudah mulai kelihatan.

“Cyril, aku mau lolly sekarang. Aku mau makan lolly dalam bis.”

“Nanti, bisnya sudah dekat.”

“Tapi Cyril, lolly, lolly.”

“Nanti saja, bisnya sudah dekat itu.”

“Lolly, Cyril, lolly…”

“O.K., O.K.”

Dan Cyril buru-buru lari ke warung candy, beli dua lolly, buru-buru lagi ke pemberhentian bis. Diseretnya Susan karena hampir saja mereka terlambat masuk ke dalam bis. Bis menderu dan Susan sambil menjilat-jilat lolly-nya, melihat rumah-rumah pada berlari di balik jendela.

“Aku senang naik bis. Aku benci subway. Di subway kau tidak bisa lihat apa-apa. Dengan bis kau bisa lihat apa saja. Rumah, rumah, rumah, supermarket, restoran, drugstore, warung candy, rumah, rumah, restoran, kafetaria, uuuh….”

“Susan! Duduk baik-baik! Jatuh baru tahu kau! Nah, begitu.”

“Rumah, rumah, kafetaria, hot dog, hamburger, hot dog, pizza, pizza, coke, coke. Cyril, aku lapar. Kau ada uang dari Ibu, kan?”

“Tapi Susan, kita dalam bis sekarang.”

“Aku lapar, Cyril.”

“Sebentar lagi kita sampai.”

“Sampai di mana?”

“Di park dekat pantai. Kau lihat rumah bertingkat di ujung tikungan itu? Di sana bis berhenti.”

“Kita bisa beli hamburger di sana?”

“Ya, bisa.”

“Dengan fries?”

“Ya, dengan fries.”

“Dengan root-beer?”

“Ya, dengan root-beer.”

Akhirnya bis sampai pada pemberhentian di dekat park itu. Cyril dan Susan turun dan masuk ke sebuah kafetaria di dekat pemberhentian itu. Cyril mengusulkan agar hamburger serta root-beer itu dibawa saja dan dimakan di pinggir pantai. Susan kegirangan mendengar itu.

“Aku nanti boleh main ayunan ya, Cyril?”

“Kita akan duduk dekat pantai.”

“Duduk saja?”

“Ya, duduk.”

Hari yang amat panas ternyata telah mengundang beratus orang berteduh dalam park itu. Pohon-pohonan yang rindang serta angin pantai yang sejuk, setidak-tidaknya untuk sementara, akan bisa mengobati keparahan panas yang berhari-hari terus saja menekan. Cyril menggandeng Susan menjauhkan diri dari bising orang-orang. Di pinggir pantai, di bawah sebuah pohon, mereka temukan sebuah bangku.

“Duduk, Susan.”

“Di sini?”

“Di mana lagi, dungu? Ini makan hamburger-mu. Ini root-beer-mu.”

Mereka makan dengan diam. Di muka mereka East River dan di belakangnya pulau Manhattan.

“Itu East River dan itu Manhattan, Susan.”

“Itu New York City, Cyril. Bapakku kerja di situ.”

“New York City ada di Manhattan.”

“Ibuku tidak pernah bilang begitu.”

“Ibumu tolol. Dan itu jauh di sana, itu Empire State Building. Dan yang ada di pinggir sana, itu gedung U.N.”

“Itu rumah pamanku, Harris, Cyril. Dan itu rumah kami yang sedang dibangun. Aku dan Mr. Todd akan mendapat kamar paling atas.”

“Apakah ibumu yang cerita itu?”

“Ya.”

“Ibumu genius.”

“Cyril.”

“Ya.”

“Betulkah kau tidak punya bapak?”

“Ibumu lagi yang bilang begitu?”

“Ya.”

“Ibumu genius.”

“Apakah genius itu? Kau suka betul bilang itu.”

“Tidak, tidak apa-apa.”

“Betulkah, Cyril?”

“Apa?”

“Bapakmu?”

“Tidak, tidak betul. Tentu saja aku punya bapak. Tiap orang ada bapak.”

“Dia tinggal bersamamu?”

“Ya. Cuma dia kerja mulai pagi sekali sampai larut malam.”

“Jadi kau tidak pernah ketemu bapakmu?”

“Kadang-kadang kalau malam-malam aku terbangun. Aku akan melihat bapakku duduk mengisap cerutu.”

Tapi di muka Cyril terbayang Harry Robertson yang mengisap cerutu di kamar ibunya. Sebuah perasaan aneh menyelinap di dadanya.

“Cyril?”

“Ya.”

“Aku masih lapar. Kau masih ada uang dari Ibu, kan?”

“Ya, aku masih. Ibumu memberi aku sepuluh dolar.”

“Belikan aku hamburger dengan irisan bawang yang gede.”

Cyril memandang wajah Susan lama-lama. Setan kecil! Tiba-tiba senyum jahat muncul dan membuat bibir Cyril agak mencong.

“Ayo lah, Cyril, belikan.”

“Susan, aku ada usul.”

“Apakah itu?”

“Mari kita main rampok-rampokan. Aku jadi perampoknya. Kau akan aku ikat tangan dan kakimu. Matamu akan aku tutup dengan saputangan, begitu juga mulutmu.”

“Kenapa mesti semuanya diikat begitu?”

“Supaya kau tidak bisa apa-apa. Bukankah perampok mesti jahat begitu?”

“Lantas?”

“Lantas aku akan pergi. Kau lalu akan minta tolong. Kemudian aku akan datang dengan hamburger menolong kau. O.K.?”

“Kedengarannya menarik juga. Ayolah kita coba.”

Dengan sebat Cyril mengikat kaki dan tangan Susan, serta menyumbat mulut dan menutup matanya. Dilambaikannya tangannya kepada Susan dan menyelinaplah Cyril ke dalam park.

Hari sudah jam dua siang waktu Susan tidak kuasa lagi mencoba bilang “help”.

Dengan susu segelas Cyril melihat TV di kamarnya. Jam berdentang tiga kali. Hari membakar tidak semena-mena.

“Kaukah itu Cyril?”

“Ibu?”

“Ya.”

Ibu Cyril merah kepanasan masuk diiringi Harry Robertson.

“Hi, Cyril.”

“Hi, Harr… eh, Mr. Robertson. Baru jam tiga sudah pulang?”

“Aku sakit, kekasihku. Mr. Robertson sudah berbaik hati mau mengantarkan Ibu pulang.”

“Oh.”

“Tapi kau kelihatan lesu dan capek, Cyril. Seharian kau di rumah saja?”

“Ya.”

“He, aku ada pikiran. Kenapa kau tidak pergi nonton ke Strand. Aku lihat lakonnya bagus. The Curse of the Werewolf. Hhhrrrrrrrrr. Pergilah dan ceritalah nanti malam padaku. Ini uang sedolar.”

Cyril menerima uang itu dan melihat wajah Ibu dan Harry berganti-ganti.

“Mr. Robertson?”

“Ya, Cyril.”

“Tuan akan tidur siang kali ini!”

“Cyril!”

Tapi Cyril dengan tidak menunggu penjelasan pergi keluar apartemen.

“Sekarang kaulihat sendiri, Harry.”

“Apa?”

“Reaksi Cyril kita pulang siang-siang. Mulut setan itu bisa lebih pedas lagi.”

“Oh, dia akan biasa.”

“Bagaimana kalau kau bikinkan segelas gin dan tonic sebelum ah, tidur siang?”

“Kau majikan buaya!”

Dan dengan tersenyum genit, Ibu Cyril mencubit bibir Harry.

Jam baru saja berdenting empat kali waktu telepon berdering. Di dalam kamar, Ibu Cyril mengerang. Sepi kembali. Telepon berdering lagi. Di dalam kamar, Ibu Cyril mengerang lagi. Tapi telepon lalu terus-menerus berdering.

“Telepon keparat! Tidak tahu orang baru…”

Dan Ibu Cyril terhuyung-huyung menuju meja telepon.

“Halo. Ya. Betul. Betuuul, saya sendiri. Dengar, badut, aku sedang sibuk dan tidak mau mendengar leluconmu. Anakku sehat-sehat saja dan sekarang sedang enak nonton bioskop. Jadi…. Apa? Bagaimana, Tuan? Oh, oh! Ya, Tuhan! Oh! Ya, ya, Tuan! Segera!”

Kemudian dibantingnya telepon. Mata Ibu Cyril membelalak ke arah tembok seperti ditembok ada hantu menempel. Sekonyong-konyong….

“Cyriiiil! Cyriiiil!”

Dan seluruh apartemen seakan-akan bergetar digoyang jerit Ibu Cyril.

Dengan tergopoh Harry terhuyung keluar kamar.

“Ada apa, ada apa.”

“Cyriiiil! Cyriiiil!”

“Ada apa dengan Cyril.”

“Susan Johnson. Dia Cyril, oh dia…. Oh, Susan, kasihan Susan. Cyriiiil! Cyriiiil!”

Sekali lagi apartemen seakan bergetar. Begitu keras tangis dan jerit Ibu Cyril.
Dan Harry Robertson tidak tahu jelas apa yang sedang terjadi, tidak tahu jelas apa yang mesti berbuat, buru-buru mengancingkan celananya.[]

*) Dimuat pertama kali di Horison, No. 1, Tahun II, Januari 1967



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Saya menulis artikel dan surat-surat tentang penulisan kreatif hampir setiap hari. Jika ingin menerima surat-surat dan artikel berikutnya via email, sila masukkan email anda di sini.