A.S. Laksana

ZAMAN, majalah anak muda yang terbit pada 1979-1985 dengan pemimpin redaksi Goenawan Mohamad dan redaktur pelaksana Putu Wijaya, dalam salah satu edisinya pernah memuat cerpen kisah cinta remaja dengan tokoh utama Goenawan Parikesit, seorang pemuda yang menaruh hati pada seorang gadis dan gagal mengencaninya.
Cerita dibuka dengan adegan si pemuda sedang mempersiapkan diri untuk malam Minggu pertamanya dan, dengan segala kerumitan dalam benak, ia berangkat ke rumah si gadis. Sengsara sekali ia di jalan. Langit makin mendung dan tak lama kemudian gerimis jatuh dan, sial baginya, di kota itu gerimis sudah jadi logam. Kepala Goenawan Parikesit benjol-benjol dipukuli gerimis sepanjang jalan, tetapi ia pantang menyerah. Ia maju terus menerjang gerimis logam, dan penderitaannya menjadi-jadi saat ia tiba di rumah si gadis. Di beranda, tempat di mana angin tak kedengaran lagi, si gadis sedang bercakap-cakap dengan seorang pemuda yang datang lebih dulu, sahabatnya sendiri, Sapardi Djoko Diamond.
Cerpen itu ditulis oleh Yudhistira ANM Massardi, penyair yang kumpulan puisinya ‘Sajak Sikat Gigi’ diumumkan oleh dewan juri DKJ sebagai buku puisi terbaik pada 1978. Ada empat kumpulan puisi yang pada tahun itu dinyatakan terbaik dan menjadi pemenang bersama. Tiga lainnya adalah ‘Amuk’ (Sutardji Calzoum Bachri), ‘Meditasi’ (Abdul Hadi WM), dan ‘Peta Perjalanan’ (Sitor Situmorang). Keputusan itu memicu polemik setelah tiga pemenang lainnya menolak keputusan dewan juri dan menilai bahwa ‘Sajak Sikat Gigi’ tidak layak.
Goenawan Mohamad, salah satu juri, mencoba mempertahankan keputusannya, tetapi polemik menguat di media massa dan suara penolakan tak bisa diredam. Akhirnya dewan juri mengubah keputusan dan menarik ‘Sajak Sikat Gigi’ dari daftar pemenang, dengan alasan penghargaan itu hanya untuk karya-karya yang diterbitkan pada 1976-1977. Cetakan stensil ‘Sajak Sikat Gigi’ diterbitkan oleh Taman Ismail Marzuki pada 20 Februari 1978. Abdul Hadi dan Sitor Situmorang mau menerima penghargaan setelah juri meralat keputusan. Sutardji, tidak puas dengan alasan pembatalan kumpulan puisi Yudhis, tetap menolak penghargaan dan mempertanyakan kualifikasi para juri.
Yudhis 24 tahun pada waktu itu, datang ke Jakarta setelah menamatkan SMA-nya di Taman Siswa Yogyakarta pada 1972, hidup menggelandang dan memanjangkan rambut bersama kembarannya Noorca Massardi selama beberapa tahun pertama di ibukota, pada malam hari tidur di mobil-mobil bagus yang diparkir di pelataran Toserba Sarinah demi mendapatkan upah penjagaan dari pemilik mobil, dan pada siang hari menghabiskan waktu di gelanggang remaja Bulungan. Protes para penyair mapan terhadap kemenangannya hanya menambah satu lagi dalam daftar gejala yang harus ia lawan, ialah otoritas sastra. Terhadap protes tersebut, ia dengan santai mengembalikan penolakan kepada salah satu penentangnya: “Abdul Hadi tak sepantasnya menang.”
Ia menerbitkan tulisan pertamanya ketika kelas dua SMP, sebuah cerpen berjudul ‘Aku Cinta Padamu’, dan terus merawat minatnya terhadap tulis-menulis, mengarahkan perhatiannya pada apa saja yang membuatnya resah, dan menjadikan puisi dan prosanya sebagai senjata untuk mempersoalkan tabu dan kemapanan dan setiap jenis kejanggalan yang ia jumpai di sekitarnya. Ia mengkritik, dengan gaya slengekan, segala yang menurutnya keliru.
Pada tahun yang sama dengan kedatangannya ke Jakarta, gairah anti-kemapanan muncul di Bandung melalui puisi-puisi mbeling di majalah Aktuil dan Pop, dengan Remy Sylado, redaktur di dua majalah itu, sebagai tokoh utamanya. Dengan puisi mbeling, orang membebaskan diri dari kungkungan puisi lirik yang ditulis secara serius dan ditempatkan terlalu tinggi. Bagi Remy, orang tidak perlu terlalu serius dalam menulis puisi, dan tidak perlu juga menempatkan puisi sebegitu tingginya. Puisi boleh tidak indah, ditulis dengan bahasa lugu dan pilihan kata sehari-hari, dengan kenakalan, dan dengan cara jenaka. Jorok pun tidak apa-apa.
Maka, begitulah, para penyair mbeling bermunculan untuk menulis segala yang pahit dengan humor dan kenakalan dan ketidakindahan. Mereka mengkritik hipokrisi, meledek penyair tua, memparodikan puisi lain, memelesetkan lagu-lagu cengeng, dan menertawai apa saja yang bisa ditertawai.
Yudhis, jiwa muda yang selalu resah, ada dalam arus itu; ia mengkritik represi, ia mengkritik gaya hidup, ia mewakili sikap antagonistik anak-anak muda terhadap generasi tua pembuat kemapanan. Dan ia mempertahankan suara anak muda di dalam tulisan-tulisannya. Di antara puisi-puisinya, kebanyakan dalam nada humor yang getir, ada puisi ledekan untuk Rendra melalui parodi berjudul ‘Sajak Sepatu Usang si Billy Peronda’ dan untuk Goenawan Mohamad dengan ‘Di Beranda Ini, Mohamad Pariksit, Telah Jadi Logam’.
Puisi mbeling tidak pernah menjadi kemapanan baru dalam sastra, dan memang tidak dimaksudkan untuk itu, tetapi ia menjadi gangguan yang menyegarkan. Beberapa tahun kemudian gerakan itu surut, Aktuil dan Pop berhenti terbit, dan banyak penyair mbeling berhenti meledek. Yudhis terus bertahan. Puncak keresahannya meluap dalam puisi panjang yang ia tulis selama tiga bulan, ‘Rudi Jalak Gugat’. Judul puisi ini sekaligus menjadi judul buku puisi pertamanya yang diterbitkan pada 1982. Ia tidak mbeling lagi dalam puisi itu. Ia marah. Puisinya lebih mendekati gaya pamflet Rendra, si Billy Peronda, ketimbang gaya slengekan yang menjadi ciri khasnya. Buku Sajak Sikat Gigi menyusul terbit tahun berikutnya.
Melanggar Tabu, Mengacak Wayang
Novel pertamanya, ‘Arjuna Mencari Cinta’, selain ditaburi dengan kritik-kritik sosial, gugatan terhadap korupsi, dan ledekan terhadap gaya hidup dan mentalitas orang-orang kaya, dalam arti tertentu juga merupakan pembangkangan terhadap wayang. Ia menggunakan nama-nama wayang untuk semua karakter dalam novel itu sembari mengacak-acak watak dan hubungan antarkarakter. Duryudana dan Burisrawa di dalam novelnya adalah ayah Kresna dan Arimbi. Bratasena, yang di dalam cerita wayang adalah putra kedua Pandawa, ia jadikan ayah Arjuna.
Apakah ia asal-asalan? Tidak. Ia penyuka komik wayang karya RA Kosasih dan ia tahu karakteristik tokoh-tokoh wayang yang ia acak-acak.
Pengacauan hubungan dan karakterisasi yang ia lakukan niscaya akan dirasakan sebagai gangguan bagi orang-orang yang takzim terhadap wayang, terutama di kalangan priyayi Jawa. Yudhis menyadari itu. Ia meninggalkan Subang, tempat kelahirannya, setelah tamat sekolah dasar pada 1966, melanjutkan sekolah di Jogja dan menetap di sana enam tahun sampai tamat SMA. Jogja adalah pusat budaya Jawa, tempat di mana wayang dihayati secara khidmat oleh para priyayi sepuh. Sementara banyak orang melihat Jogja melalui kacamata romantis, Yudhis tidak. Jogja di mata Yudhis, melalui sudut pandang Arjuna dalam novelnya, adalah tempat yang telah banyak berubah:
“… sedang mencoba bersolek, dengan gincu yang tak cocok, dengan bedak tanpa selera. Padahal jiwanya tetap saja jiwa yang dulu. Jiwa priyayi yang selalu hadir dengan ironi: blangkon di kepala, dasi di leher, keris di pinggang, samsonite di tangan. Selalu bicara tentang kejayaan Mataram, sambil memimpikan Amsterdam.”
Sebelum novel, ia menjadikan dirinya sendiri medium perlawanan—melalui namanya. Teman-teman sekolahnya di Jogja memanggilnya Yan—dari Moelyana—dan ia menjadikan Yan itu Yudhistira Ardi Noegraha. Dalam pandangan priyayi Jawa, yang diikuti juga oleh para kawula alit, wayang adalah sesuatu yang hampir sakral dan menamai anak dengan nama tokoh wayang adalah tabu. Yudhis mengabaikan kesakralan dan melanggar tabu itu. Ia menamai dirinya Yudhistira karena merasa dekat dengan watak Pandawa sulung ini.
‘Arjuna Mencari Cinta’ mendapatkan penghargaan sebagai novel bacaan remaja terbaik 1977 dari Yayasan Buku Utama. Novel itu kemudian difilmkan dan Departemen Penerangan RI menolak nama-nama wayang yang digunakan untuk menamai karakter-karakternya, sehingga judul filmnya hanya ‘Mencari Cinta’.
Pada tahun itu juga, lakon dramanya ‘Wot atawa Jambatan’ memenangi hadiah harapan dalam sayembara penulisan naskah drama dan novelnya ‘Aku Bukan Komunis’ mendapatkan penghargaan yang sama dalam sayembara penulisan novel—dua sayembara itu diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Penerbit Gramedia menerbitkan novel itu dan mengganti judul asli, yang dianggap terlalu sensitif, dengan judul baru ‘Mencoba tidak Menyerah’.
Tahun berikutnya, 1978, lakon dramanya ‘Ke’ kembali mendapatkan hadiah harapan dalam sayembara DKJ dan kumpulan puisi ‘Sajak Sikat Gigi’ dipilih sebagai kumpulan puisi terbaik dan kemudian dibatalkan lagi. Itu menyakitinya, tetapi juga melambungkan namanya. Untuk dampak kedua, ia berterima kasih; untuk yang pertama, ia menjadi punya pengalaman pribadi yang memperkuat pendirian bahwa otoritas harus selalu dikritisi, pembuat kemapanan perlu diolok-olok, dan naluri untuk melawan harus selalu dirawat.
Ia sudah menyerukan itu pada umur dua puluh tahun melalui ‘Biarin’, sebuah puisi yang paling mewakili antagonismenya terhadap setiap gejala yang perlu digugat:
kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin
kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin
kamu bilang aku nggak punya kepribadian. Aku bilang biarin
kamu bilang aku nggak punya pengertian. Aku bilang biarinhabisnya, terus terang saja, aku nggak percaya sama kamu
Tak usah marah. Aku tahu kamu orangnya sederhana
cuman, karena kamu merasa asing saja makanya kamu selalu bilang seperti itukamu bilang aku bajingan. Aku bilang biarin
kamu bilang aku perampok. Aku bilang biarinsoalnya, kalau aku nggak jadi bajingan mau jadi apa coba, jadi lonte?
aku laki-laki. Kalau kamu nggak suka kepadaku sebab itu
aku rampok hati kamu. Tokh nggak ada yang nggak perampok di dunia
ini. Iya nggak? Kalau nggak percaya tanya saja sama polisihabisnya, kalau nggak kubilang begitu mau apa coba
bunuh diri? Itu lebih brengsek daripada membiarkan hidup ini berjalan
seperti kamu sadari sekarang inikamu bilang hidup ini melelahkan. Aku bilang biarin
kamu bilang itu menyakitkan
Ketika usianya tidak muda lagi, ia masih mencoba melawan, mencoba tidak menyerah, seperti judul novelnya, dan tidak lagi dengan slengekan. Ia berkeliling ke kota-kota untuk membacakan puisinya kepada anak-anak muda, generasi yang dibesarkan oleh internet dan media sosial, mendorong mereka mencintai puisi, mengajak mereka berdiskusi, sampai kondisinya tidak lagi memungkinkan. Ia meninggal pada 2 April 2024, pada usia 70 lebih 33 hari.[]
Leave a Reply