Teguh Esha: Anak Jalanan Pulang Duluan

A.S. Laksana

Teguh Esha di Jakarta School, foto Yayan Sopyan.

Ia datang menemui kami di ruko samping UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, ruko yang kami jadikan kantor dan ruang kelas, seingat saya pada 2005; tubuhnya kecil dan tampak ringkih dan saya khawatir ia sakit-sakitan, tetapi saya keliru untuk kekhawatiran itu. Teguh Esha terdengar sehat dan penuh semangat ketika membicarakan urusan tulis-menulis dan berulang kali menyatakan senang dengan apa yang kami lakukan. Pada waktu itu kami berempat–Yayan Sopyan, Agung Bawantara, Farchan, dan saya–belum lama memulai kelas penulisan kreatif Jakarta School.

Teguh Esha, kami sama tahu, adalah nama besar pada masanya, tetapi sudah lama kami tidak mendengar namanya. Sore itu ia muncul tiba-tiba.

“Bidadari yang mengembara,” ia menyapa dengan menyebut judul kumpulan cerpen pertama saya yang terbit tahun sebelumnya. Kedua tangannya terentang, saya menyambutnya, dan kami berangkulan.

“Aku nggak menulis seperti kamu menulis,’ katanya, “tapi kelas seperti ini harus ada. Nanti kita pikirkan bagaimana cara cari uangnya.”

Kami baru bertemu saat itu dan saya merasa ia kawan lama. Enam tahun sebelum itu sebetulnya ia pernah bertandang ke kantor Tabloid DeTAK di kompleks Stadion Lebak Bulus; saya duduk di meja saja, ia melintas di antara meja-meja, dan kami tidak saling menyapa. Beberapa hari setelah kedatangannya di Jakarta School, ia muncul di rumah saya, tanpa janjian, membawakan “Ali Topan Anak Jalanan” dan “Penembak Bintang”, dua dari sekian novelnya. “Siapa tahu kamu mau baca,” katanya, “dan tolong disimpan, stoknya sudah nggak ada.”

Saya masih murid SD ketika film “Ali Topan Anak Jalanan”, yang ia sutradarai sendiri, meledak di pasaran pada 1977 dan melambungkan nama Junaedi Salat, si Ali Topan dalam film itu.

Film itu memang pantas meledak. Teguh Esha menciptakan sosok anak muda ideal pada masanya melalui karakter Ali Topan: Ia bengal, ia berontak, dan ia berotak. Ali menyukai jalanan, ia kritis terhadap orang tuanya, tetapi ia pintar di sekolah dan berhasil menaklukkan Yati Octavia yang dalam film itu memerankan karakter Anna Karenina.

Anak-anak SMA di kampung saya di Semarang, orang-orang seusia paman saya, pada waktu itu menjadi suka mengikatkan saputangan di leher dan mengenakan jaket jins, sebagian dari mereka membelinya di pasar maling di belakang Pasar Ya’ik. Mereka semua ingin menjadi Ali Topan; mungkin yang perempuan ingin menjadi Yati Octavia. Pada masa itu saya berkawan dekat dengan tetangga perempuan seusia bibi saya; ia sumber pengetahuan bagi saya untuk film-film dan bacaan remaja dan suatu hari ia mengajak saya menonton Ali Topan di gedung bioskop murahan. Saya belum mampu menikmati ceritanya dan saya tidak tahu apakah mbak yang mengajak saya ini berminat juga menjadi Yati Octavia.

Saya baru membaca “Ali Topan” pada 2005, terlambat 28 tahun, dan mencoba surut ke 1970-an ketika novel itu ditulis, mula-mula sebagai cerita bersambung di majalah Stop, 1972, dan terbit sebagai novel pada 1977, tak lama setelah filmnya. Dengan novel pertamanya itu Teguh melakukan upaya menarik di dalam penulisan novel pop. Ia membangun sense of realism dalam novel itu dengan memasukkan bahasa slang, bahasa anak-anak jalanan, percobaan yang belum dilakukan oleh penulis novel-novel pop lainnya, dan dengan itu Ali Topan menjadi sosok yang hidup, seolah-olah ia dan kawan-kawannya setiap hari lalu lalang di jalanan Jakarta dengan motor mereka yang bersuara bising.

Dari Teguh saya mendengar bahwa novel itu kemudian mengilhami terbitnya kamus bahasa slang, tak jauh dari masa kejayaan Ali Topan.

Setelah kunjungannya yang entah keberapa, saya membalas berkunjung ke rumahnya di perkampungan dekat perumahan Bintaro. Satu kali ia membawa saya ke ruang kerjanya, sebuah bangunan terpisah di belakang rumah yang diteduhi pepohonan, dan saya jengkel melihat tak ada kursi di sana. Komputernya bertengger di meja rendah dan ia mengetik bersila di lantai. “Duduk di kursi, Mas,” kata saya. “Sakit punggungmu kalau menulis begitu.”

“Dari dulu aku menulis begitu,” katanya.

“Sekarang jangan begitu.”

“Nanti malah nggak lancar nulisnya kalau duduk di kursi.”

“Pokoknya nanti saya kemari lagi, Mas Teguh harus menulis di kursi.”

Kami sudah sering bertemu, tetapi saya betul-betul tidak banyak tahu siapa orang yang saya “bentak-bentak” sore itu, sampai suatu malam kami bertemu tak sengaja di Bulungan. Teguh Esha tumbuh dan menjadi besar di sana, dan setiap anak muda yang melintas di dekat kami membungkuk hormat kepadanya, beberapa datang mencium tangannya, seperti para santri mencium tangan kiai yang mereka junjung tinggi. Kalau saya tidak keliru dengar, mereka memanggilnya abah.

Pukul sembilan malam ia mengangkat tangan kanannya setinggi kepala dan pamit:

“Duluan, Lak.”

“Nanti ngobrol lagi, Mas.”

Saya masih ingin ngobrol dengannya, makan ketoprak pagi-pagi di teras rumahnya, menuntaskan pembicaraan yang sepertinya tidak pernah berakhir. Ketika kami kerap bertemu, saya sering berpikir untuk menemaninya sangat lama, mencari-cari kemungkinan apa yang bisa kami lakukan berdua, tetapi malam itulah kami bertemu terakhir kali, sebelas tahun lalu, dan saya masih ingin ngobrol dengannya.

Teguh Slamet Hidayat Adrai lahir di Banyuwangi pada 8 Mei 1947 dan meninggal di Jakarta pada 17 Mei 2021 di usia 74 tahun.[]



Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Saya menulis artikel dan surat-surat tentang penulisan kreatif hampir setiap hari. Jika ingin menerima surat-surat dan artikel berikutnya via email, sila masukkan email anda di sini.