Tan Joe Hok, Orang Indonesia Pertama

A.S. Laksana

“Tan Joe Hok Menaklukkan Detroit”, tulis Sports Illustrated, majalah mingguan olahraga Amerika Serikat, edisi 13 April 1959. Artikel itu melaporkan kehebatan lima pemuda dari Timur Jauh dalam kejuaraan bulutangkis amatir terbuka yang diikuti 170 peserta, dan Tan Joe Hok, pemuda Bandung berumur 21 tahun, adalah tokoh utamanya.

Ia baru menjuarai All England tiga pekan sebelumnya, mengalahkan Ferry Sonneville di final sesama Indonesia, dan dianggap sebagai pemain tunggal putra terbaik di dunia sejak pebulutangkis Denmark, Finn Kobbero, tidak aktif karena skorsing. Hok telah menjuarai turnamen di India, Inggris, Indonesia, Asia, dan Kanada, dan “merupakan kunci keberhasilan Indonesia dalam menjuarai Piala Thomas.”

*

Bulutangkis adalah olahraga musim panas di AS, dimainkan pada waktu senggang di pekarangan belakang rumah atau di tempat perkemahan, dan tidak dimaksudkan sebagai olahraga serius yang para pemainnya berlatih intens. Namun kehadiran Tan Joe Hok di Detroit menjadikan kejuaraan amatir itu seolah-olah kejuaraan dunia bagi warga kota, tetapi menjelang kejuaraan ia membuat cemas panitia. Mereka mendengar kabar Hok terserang pilek Skotlandia, hidung tersumbat, dan sakit gigi.

“Apa yang terjadi dengan Hok,” tanya salah seorang panitia.

“Dia kena flu perut atau entah apalah,” jawab seorang warga.

“Maksudmu, flu karena sugesti?” tanya yang lainnya, yang pernah mendengar bahwa Hok mengidap hipokondria, yaitu sering merasa cemas berlebihan bahwa dirinya sakit.

Lalu beredar kabar lagi bahwa Hok, yang dirawat karena hidung tersumbat, pingsan di kafetaria sekolah, menjatuhkan nampan makanannya, dan memohon dalam bahasa Indonesia agar ia jangan mati dulu.

“Kasihan sekali,” kenang seorang ibu rumah tangga. “Saya memapahnya. Dia kelihatan sakit parah!”

Tapi, apa pun yang ia rasakan, permainannya tidak terganggu. Ia mengalahkan semua lawannya dengan mudah dan cara bermainnya memancing decak kagum. Ia mampu mengembalikan pukulan-pukulan yang sulit, bahkan ketika harus menjangkau kok yang tipis melewati net, dan mengembalikannya ke arah yang tak terjangkau lawan. Pukulan backhand-nya kuat, dan ia seperti dewa yang bisa seenaknya mengatur tempo permainan.

Di final ia mengalahkan Charoen Wattanasin dari Thailand, kali ini tidak terlalu mudah, meskipun Wattanasin selalu ia kalahkan dalam lima pertemuan sebelumnya. Ia kalah di set pertama dengan skor 16-18. Penonton tidak percaya bahwa Tan, si juara All England, bisa kalah.

Mereka lega ketika ia memenangi set kedua dengan skor 15-8, tetapi situasi kembali menegangkan pada set ketiga. Mereka gelisah, menggeser pantat ke tepi bangku, mencondongkan tubuh ke depan, tidak rela melihat Tan kalah. Masalahnya, Wattanasin terus memimpin, dan itu membunuh kegembiraan di arena pertandingan. Tapi akhirnya Tan menyusul dan mengakhiri permainan dengan skor 18-16.

Dua pemuda Asia lainnya, Lim Say Hup dan Teh Kew San, juara ganda putra All England dari Malaya, menjadi juara setelah mengalahkan pasangan Amerika, agen FBI Joe Alston dan guru sekolah Wynn Rogers, dengan skor 15–5 dan 15–3.

“Semuanya serba salah,” kata Hok setelah turnamen. “Mata, hidung, dan tenggorokan saya. Rasanya mengerikan. Saya di Inggris, iklimnya lembap dan dingin. Lalu Kanada, kering dan dingin. Lalu Detroit, saya tidak tahu. Di Indonesia saya makan nasi, mi, dan sambal. Di Inggris saya makan daging sapi dan domba, saya tidak suka. Di Kanada saya menemukan rumah makan Cina yang enak. Saya berharap bisa mendapatkan nasi di sini. Dan saat saya nanti pergi sekolah ke Texas [Baylor] mudah-mudahan saya bisa menemukan nasi yang enak.”

Selepas All England, ia memang melanjutkan sekolah pra-kedokteran selama empat tahun (1959-1963) di Universitas Baylor, Texas, mengambil studi Kimia dan Biologi.

Panitia turnamen, karena tidak ingin Tan menderita, menuruti keinginannya. Maka, ke mana pun para pemuda Asia itu pergi, mereka harus mendapatkan nasi liwet yang dimasak “secara benar”.

“Semua orang di sini baik kepada saya,” kata Tan Joe Hok. “Saya merasa seperti di rumah sendiri.”

Mungkin ucapannya itu tidak terlalu tepat, sebab di rumah sendiri ia tidak mendapatkan perlakuan yang cukup baik.

*

Tan Joe Hok lahir di Bandung, 11 Agustus 1937, dari keluarga melarat. Badminton menyelamatkannya. Ia juara nasional pada 1956 dan menjadi bagian dari The Magnificent Seven yang menumbangkan Malaya dalam final Thomas Cup 1958. Enam yang lain adalah Ferry Sonneville, Tan King Gwan, Njoo Kim Bie, Lie Poo Djian, Olich Solichin, dan Eddy Yusuf. Setahun kemudian ia menjuarai All England—dengan nama Tan Joe Hok, nama yang pada masa Orde Baru harus diganti dengan “nama Indonesia”.

Aturan itu membuatnya bingung dan sedih. “Apa salahnya nama saya?” katanya. “Selama saya tidak berbuat jahat, seharusnya tidak ada masalah.”

Tapi pemerintah mewajibkan semua warga negara dari etnis Tionghoa mengganti nama mereka. Ang Tjin Siang mengganti namanya menjadi Mulyadi, dan Tan mengganti namanya menjadi Hendra Kartanegara—masih ada ‘Tan’-nya.

Itu nama marga yang artinya keberuntungan. Ia harus mempertahankan ‘Tan’ pada nama barunya.

Ia menyebut kebijakan ganti nama itu diskriminasi, dan merasa pahit karena hanya diberlakukan untuk warga etnis Tionghoa, sementara “Ferry Sonneville tidak diminta mengganti namanya.”

Dan masalah itu tidak berhenti pada orang-orang segenerasinya. Ivana Lie, andalan Indonesia pada era 1980-an, juga menjadi korban. Ia kesulitan mendapatkan surat identitas diri. “Saya pelatih nasional pada waktu itu,” kata Tan. “Ivana hanya diberi semacam surat saat pergi keluar negeri, namun surat itu ditarik lagi begitu ia kembali ke Indonesia.”

Susi Susanti dan Alan Budikusuma, peraih medali emas tunggal putri dan putra Olimpiade Barcelona 1992, kesulitan mengurus Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKBRI), saat mereka hendak menikah.

Tong Sin Fu, pria kelahiran Teluk Betung, Lampung, dan pelatih pelatnas PBSI era 1980-an, kesulitan mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Ia memilih pergi ke Tiongkok, membangun perbulutangkisan di sana, dan menjadi tokoh penting bagi keunggulan negeri itu.

Tan Joe Hok pernah melatih di Meksiko dan Hongkong, tetapi tidak memilih negeri lain sebagai tanah air selain Indonesia. “Saya lahir di Indonesia dan ingin mati di Indonesia,” katanya. Dan ia memenuhi keinginannya. Tan meninggal pada 2 Juni 2025 di usia 87 tahun.

Seperti Neil Armstrong, orang Amerika pertama yang menjejakkan kakinya di bulan, Tan orang Indonesia pertama yang mengangkat piala All England (1959) dan medali emas Asian Games (1962). Ia bagian penting tim Indonesia yang merebut Piala Thomas dari Malaya pada 1958, dan mempertahankannya dua kali berturut-turut pada 1961 dan 1964.[]



Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Saya menulis artikel dan surat-surat tentang penulisan kreatif hampir setiap hari. Jika ingin menerima surat-surat dan artikel berikutnya via email, sila masukkan email anda di sini.