Robert Redford, Si Tampan yang Mengganggu

A.S. Laksana

Di tepi sungai di Kenya, dengan kuda nil berendam tak jauh, Robert Redford membasuh rambut Meryl Streep. Tangannya mengusap-usap rambut perempuan itu, yang gugup sepanjang pengambilan gambar sebab kuda nil terkenal agresif, dan Redford terus bicara untuk menenteramkannya.

Kamera merekam detail. Si lelaki menuangkan air dari kendi putih pelan-pelan untuk membersihkan busa, dan si perempuan mendongak menyandarkan kepala pada tangan kiri si lelaki. Air busa mengalir di tanah di belakang mereka.

Itu adegan paling romantis dalam ‘Out of Africa’ (1985), dan adegan di antara keduanya hampir tak pernah terjadi. Sidney Pollack, sang sutradara, menolak Meryl Streep untuk peran Karen Blixen; ia menilai Meryl, yang sudah memenangi dua Oscar, terlalu serius dan kurang sensual. Pihak Universal bersikeras dan Meryl datang ke wawancara dengan blus rendah dan push-up bra. Pollack menyerah. “Aku tak butuh diyakinkan lagi,” katanya. “Dia bisa memancarkan sensualitas kapan pun dia mau.”

Redford berlatih aksen Inggris pada pelatih suara di London selama enam bulan. Denys Finch Hatton, tokoh yang ia perankan, adalah bangsawan Inggris, berpendidikan Eton dan Oxford, dan identik dengan gaya hidup aristokrat. Namun ketika syuting dimulai, pihak studio khawatir penonton akan bingung melihat Redford beraksen Inggris, dan Pollack memintanya menghentikan penggunaan aksen. “Itu merusak proses,” kata Redford. Ia merasa seperti karpet di bawah kakinya ditarik, dan ia goyah, dan ia kesulitan menyatu dengan peran.

Kehidupan di luar layar juga sering memberinya situasi seperti itu. Ia poster boy Hollywood: pirang, tampan, wajah Amerika yang bersih. Namun ia tumbuh sedih.

*

Charles Robert Redford Jr lahir 18 Agustus 1936 di Santa Monica, California. Ia lahir prematur dan hampir meninggal karena kekurangan oksigen parah. Ibunya, Martha, mengalami anemia dan hampir meninggal juga akibat larangan transfusi darah dari ajaran Christian Science. Ayahnya, Charles Sr, dipecat dari pekerjaannya di bursa saham karena bicara gagap dan kemudian menjadi pengantar susu yang harus bangun pukul dua pagi, menggotong kendi susu berat, dan pulang larut malam dengan tubuh remuk.

Kelelahan dan sakit punggung membuat si ayah mudah marah. Ia ada di rumah, tetapi tak pernah hadir untuk anaknya; ia bicara hanya sesekali dan selalu terdengar membentak. Redford tumbuh dengan perasaan diasuh oleh orang tua tunggal. Ia hanya mengenal ibunya.

Martha lembut dan imajinatif. Dialah yang membuat hari Natal tetap ajaib di keluarga melarat itu dengan salju kapas di jendela, tetapi Martha pergi terlalu cepat. Dia meninggal pada umur 40 oleh leukemia, meninggalkan luka yang tidak pernah benar-benar pulih. Redford merasa bersalah karena absen dari sisi ibunya di tahun-tahun terakhirnya. Ia sedang kuliah di kota lain dan itu menjadi beban yang dipikulnya seumur hidup.

Itu kehilangan kedua; yang pertama pada umur lima. Ia kehilangan anjing jalanan yang menjadi sahabat dekatnya. Suatu hari, ketika ia bersepeda untuk menemui anjing itu, ia melihat sahabatnya sudah mati dilindas mobil.

*

Di sekolah ia hanya menyukai olahraga—tenis, bisbol, renang—dan hancur di akademik, dan kemudian menggeser minat ke seni. Di Paris ia belajar melukis, di Italia ia kelaparan, di New York ia belajar akting di American Academy of Dramatic Arts. Peran kecil di televisi membawanya ke Broadway dan kemudian ke Hollywood. Wajahnya yang memikat menjadikannya cepat populer, tetapi film-film pertamanya hancur.

Film debutnya, ‘War Hunt’ (1962), memberinya peran kecil dan nyaris tak dilihat orang. Lalu ‘Inside Daisy Clover’ (1965), yang memasangkannya dengan Natalie Wood dalam kisah glamor Hollywood, diharapkan meledak, tetapi penonton enggan. Setahun kemudian, ia bermain dalam komedi perang ‘Situation Hopeless… But Not Serious’ dengan Sir Alec Guinness, dan film itu betul-betul hopeless. ‘This Property Is Condemned’ (1966), adaptasi karya Tennessee Williams, kembali memasangkannya dengan Natalie Wood. Tersungkur juga.

Studio-studio Hollywood akhirnya memutuskan bahwa sekalipun tampan dan berbakat, Redford tidak bisa dijual. Dan penilaian itu runtuh setelah ‘Butch Cassidy and the Sundance Kid’ (1969). Ia bermain dengan Paul Newman dan film ini melambungkannya sebagai ikon layar lebar Amerika. Di luar film, pertemanannya dengan Paul menjadi salah satu persahabatan paling legendaris di Hollywood.

Setelah itu film-film yang ia bintangi selalu mengeruk sukses finansial. ‘The Sting’ (1973) meraup lebih dari $160 juta, memenangkan tujuh Oscar, dan memberinya satu-satunya nominasi Aktor Terbaik. ‘The Way We Were’ (1973) dengan Barbra Streisand menjadi salah satu romansa layar paling populer dekade itu. ‘Out of Africa’ (1985) meraih tujuh Oscar termasuk Best Picture dan menembus $250 juta di box office global, melampaui pencapaian sebelumnya. Secara total, film-film yang dibintanginya menghasilkan lebih dari $2 miliar.

Namun ia tidak ingin hanya menjadi wajah tampan di layar. Ia pemilih, dan ia memilih film-film yang sering kali mengganggu rasa nyaman penonton: ‘Downhill Racer’ (1969) tentang atlet egois, ‘The Candidate’ (1972) tentang politisi yang menjual idealisme, dan ‘All the President’s Men’ (1976), berpasangan dengan Dustin Hoffman, tentang jurnalisme investigasi.

Pada 1980, ia menyutradarai ‘Ordinary People’, kisah keluarga yang dihantui kematian anak. Film ini berbiaya murah dan berhasil mendatangkan uang dan empat Oscar, termasuk Best Picture dan Best Director untuk debut Redford. Ia mengalahkan Martin Scorsese (‘Raging Bull’) dan Roman Polanski (‘Tess’). “Aku bangga pada filmnya,” katanya, “tapi aku tidak menginginkan piala.”

*

Warisan terbesar Robert Redford mungkin bukan peran atau filmnya, melainkan Sundance Institute. Didirikan pada 1981 di pegunungan Utah, Sundance awalnya hanya laboratorium kecil untuk mengasah naskah. Di tempat ini, di padang rumput di daerah gunung, Redford mengundang para sineas muda untuk bereksperimen.

Dari sana lahir festival yang kini menjadi pusat perfilman independen terbesar di dunia, melahirkan nama-nama Quentin Tarantino, Steven Soderbergh, dan Damien Chazelle. Sundance juga menjadi simbol perlawanan terhadap sistem studio Hollywood yang serba formula.

Soderbergh datang pada musim dingin 1989, berusia 26 tahun, membawa film berjudul ‘Sex, Lies, and Videotape’ ke Sundance. Dibuat dengan biaya rendah, ditulis dalam delapan hari, syuting tiga puluh hari, film itu membuat penonton terdiam beberapa saat seusai pemutaran dan kemudian meledak dalam tepuk tangan. Film ini memenangkan Audience Prize, dan selanjutnya meraih Palme d’Or di Cannes. Sundance mendadak masuk peta dunia, dan Steven Soderbergh dianggap sebagai pembuka era baru perfilman independen Amerika.

Tahun berikutnya, Tarantino muncul di Sundance Lab dengan naskah ‘Reservoir Dogs’. Ia masih pegawai toko kaset video, penuh energi, cerewet tanpa henti. Di lab itu, bersama Steve Buscemi, ia menguji adegan, menata ulang dialog, merasakan bagaimana kata-katanya di mulut aktor. Delapan belas bulan kemudian, filmnya diputar di festival, tidak menang, dan Tarantino marah meninggalkan Sundance. Namun saat dirilis, ‘Reservoir Dogs’ disambut sebagai film yang menghidupkan kembali roh film noir di Amerika.

Dua dekade kemudian, 2013, seorang anak muda lain membawa film pendek ‘Whiplash’ ke Sundance. Hanya 18 menit, mengisahkan guru musik yang kasar dan murid yang ingin membuktikan diri. Film itu memenangi Short Film Jury Prize. Kemenangan kecil tersebut membuka jalan bagi versi panjang ‘Whiplash’ (2014), yang kemudian meraih tiga Oscar. Damien Chazelle sendiri, di usia 32 tahun, menjadi sutradara termuda peraih Oscar lewat ‘La La Land’ (2016).

Mereka bermula dari Sundance, sebuah laboratorium yang dibiayai sendiri oleh Redford, $100.000 setahun.

Bersama waktu, terutama sejak akhir 1980-an dan 1990-an, festival ini mengalami ledakan popularitas. Film-film independen yang diputar di Sundance bisa langsung mendapat kontrak jutaan dolar dari studio besar. Agen, investor, dan distributor mulai berdatangan dengan tujuan dagang.

Itu membuat Redford frustrasi. Ia melihat laboratorium yang dibangunnya pelan-pelan bergeser menjadi “pameran dagang”, pasar tempat film diperjualbelikan, dan suasana yang semula intim dan eksperimental berubah menjadi penuh transaksi.

Meski demikian, ia tetap mempertahankan Sundance sebagai proyek hidupnya, berusaha menjaga agar semangat asli—memberi kesempatan pada suara baru—tidak hilang, meski realitas industri sudah terlanjur menyerbu laboratoriumnya.

*

Aktivismenya di luar film—menentang tambang di Utah, menolak pembangkit Kaiparowits, membela hak Indian—membuat Redford sering diserang. Ia menulis esai di Harvard Business Review, berbicara di Kongres, dan bahkan sempat disebut-sebut sebagai calon presiden Demokrat, gagasan yang selalu ia tolak. “Aku lebih berguna di luar,” katanya.

Bagi warga pendukung tambang, Redford sama sekali bukan bintang; ia penghalang rezeki; ia “Skunk Man Redford”, binatang bau dan pengganggu, sebuah julukan yang diberikan oleh surat kabar lokal. Ia munafik, kata mereka, aktor kaya yang bermain-main dengan idealisme dan merusak peluang kerja orang-orang lain dengan alasan lingkungan. Redford memahami semua serangan itu sebagai harga dari keyakinan. Ia tidak ingin melihat satu generasi makmur dengan mengorbankan generasi setelahnya.

Pada tragedi 11 September 2001, ia terbang pulang dari New York ke Los Angeles, dan selamat hanya karena terbang sehari lebih awal. United 93, penerbangan yang biasa ia pilih, dibajak untuk ditabrakkan ke Gedung Putih dan jatuh di sebuah ladang di Shanksville, Pennsylvania.

Tragedi 9/11, baginya, adalah bukti bahwa Amerika buta sejarah dan melihat dunia hanya dari kepentingannya sendiri. Ia mengecam pemerintahan Bush, menolak penyerbuan ke Irak, dan menegaskan bahwa patriotisme tidak harus dengan bendera dan retorika perang. Bagi Redford, mencintai negeri juga berarti merawat tanah, udara, dan alam yang menjadi milik generasi berikutnya.

Redford meninggal pada 16 September 2025 di usia 89, dengan 70-an film, satu Oscar sutradara, puluhan penghargaan internasional, dan festival film independen paling berpengaruh di dunia sebagai warisan.

Mungkin adegan dengan Meryl Streep di tepi sungai di Kenya mewakili citra terbaiknya. Di layar, penonton melihat cinta yang indah dan rentan sekaligus. Denys Finch Hatton mencintai Karen Blixen, tetapi ia menolak terikat perkawinan dan kemudian meninggal dalam kecelakaan pesawat kecilnya.

Di luar layar, pada saat pengambilan gambar, Redford sedang menutup cerita panjang rumah tangganya. Di sela-sela syuting, ia mengurus perceraian lewat telepon.

Ia menikahi Lola Van Wagenen pada 1958, punya empat anak, kehilangan bayi pertama karena sindrom kematian mendadak. Tragedi itu memberinya satu luka lagi yang begitu dalam. Tiga dekade kemudian mereka bercerai. Redford mengaku gagal menyeimbangkan karier dan keluarga. Di usia senja ia menemukan pasangan baru, Sibylle Szaggars, artis Jerman, yang menemaninya hingga akhir.[]



Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Saya menulis artikel dan surat-surat tentang penulisan kreatif hampir setiap hari. Jika ingin menerima surat-surat dan artikel berikutnya via email, sila masukkan email anda di sini.