Ngũgĩ wa Thiong’o Memerangi Kolonisasi Bahasa

A.S. Laksana

“Jika kamu tidak mampu berbicara dengan ibumu dalam bahasa yang kamu pakai untuk menulis puisi, maka puisimu kehilangan nyawanya.”

Di kaki bukit Limuru, 30 kilometer di barat laut Nairobi, Kenya, di antara kebun-kebun teh, Wanjikũ menggandeng tangan anak lelakinya pagi itu menuju sekolah. Ibu dan anak sama-sama telanjang kaki, dan mereka memasuki ruang kelas, dan kepada guru kelas ia mengatakan: “Ini anak saya. Dia mau sekolah. Saya tidak punya uang, tetapi saya akan bekerja sekuat tenaga untuk membayar biayanya.”

Wanjikũ buta huruf sepanjang hidup dan tidak tahu banyak tentang sekolah. Ia hanya meminta anaknya untuk melakukan yang terbaik, tekun dan mau bekerja keras, sebab hanya itu yang harus dilakukan oleh orang miskin untuk memperbaiki hidup.

James Ngũgĩ, yang kelak memilih nama Ngũgĩ wa Thiong’o, berusia 8 tahun ketika ibunya membawanya menemui guru kelas. Ia lahir pada 5 Januari 1938, kelima dari enam anak yang dilahirkan oleh Wanjikũ, istri keempat dari seorang petani yang memiliki tanah sendiri dan sejumlah ternak, dan merupakan bagian dari kelas petani mapan di komunitasnya, tetapi kemudian bangkrut. Mereka hidup dalam keluarga besar berisi 24 anak dari empat istri, dengan tiap-tiap istri dan anak-anak mereka menempati rumah masing-masing dalam satu kompleks.

“Ayah saya memperlakukan keempat istrinya berbeda-beda,” katanya, “dan ibu saya yang paling diabaikan.”

Tetapi, dalam ingatannya, ibunya jugalah yang membuktikan diri paling kuat bertahan ketika ekonomi keluarga hancur. Ayahnya terjerumus ke dalam alkohol, kehilangan penghasilan dan harga diri, dan akhirnya diusir dari rumah besar oleh para istri dan anak-anak yang dulu ia pimpin. Ngũgĩ kecil menyaksikan kehancuran pelahan-lahan ini. Dari seorang kepala keluarga yang berwibawa, ayahnya berubah menjadi pemabuk tua yang menarik diri, menjadi semakin kasar kepada istri-istrinya, dan kehilangan kendali atas hidupnya sendiri

Dalam situasi itu, Wanjikũ membuktikan janjinya kepada guru kelas. Ketika para istri lain mulai meninggalkan rumah besar, ia bertahan dan menjaga anak-anaknya agar tidak karam oleh kehancuran ekonomi dan kemerosotan moral yang mulai menggerogoti keluarga besar. Ia bekerja di ladang orang lain, mengambil pekerjaan-pekerjaan kasar, dan mengambil alih semua urusan rumah: mencari makan, mencari biaya sekolah, dan mencintai anak-anaknya bahkan ketika dunia seperti benar-benar runtuh. Wanjikũ adalah bentuk pertama dari keteguhan dan perlawanan, yang kelak dilanjutkan oleh Ngũgĩ melalui tulisan.

*

Rumahnya berdinding lumpur dan kayu, dengan atap alang-alang, dan ia mengenang rumah itu dengan rasa cinta—rumah yang dibangun sendiri oleh tangan-tangan para penghuninya, dindingnya lumer ketika hujan, tetapi sempurna dalam fungsinya sebagai ruang untuk tumbuh, belajar, dan membangun mimpi. Di rumah itu ia mengulang pelajaran yang didapatkannya di sekolah.

Ketika tiba waktunya masuk SMA, ia diterima di Alliance High School, sekolah elite di Kenya yang dibangun oleh misionaris. Di sana ia bertemu dengan dunia luas, bertemu Shakespeare dan Dickens; di sana juga ia melihat terjadinya penghapusan. Bahasa Inggris menjadi bahasa intelektual, sementara bahasa ibunya—Kikuyu (sekarang ditulis Gikuyu)—adalah bahasa dapur, bahasa jalanan, bahasa rendahan.

Para siswa akan dihukum jika berbahasa Kikuyu dan dipuji ketika berbahasa Inggris. Pendidikan memaksa mereka meyakini bahwa kecerdasan dan keberhasilan hanya bisa dicapai melalui bahasa kolonial, dan itu menciptakan jarak antara anak-anak dan orang tua mereka yang tidak menguasai bahasa kolonial itu. Dampak lanjutannya, bagi orang-orang terpelajar, bahasa Kikuyu adalah sesuatu yang memalukan.

Ia tahu betapa kuatnya rasa malu berfungsi sebagai tekanan. Dalam sebuah upacara keluarga di masa kecilnya, ia ditantang memakan isi usus sapi. Semua orang melihat, dan ia mati-matian menahan rasa mual agar bisa menghabiskan isi usus itu, agar dianggap berani dan dewasa, agar tidak dipermalukan oleh orang banyak.

Upacara kecil itu, dalam refleksinya kelak, adalah miniatur kekuasaan. Ia sudah merasakan bagaimana rasa malu dan tekanan sosial bekerja, dan ia tak bisa lagi tunduk. Ia harus menolak norma-norma kolonial, yang diikuti oleh para sarjana, yang memaksa orang Afrika menyembah bahasa asing, memuja budaya asing, dan merasa jijik terhadap akar mereka sendiri. Dan ia membalikkan perspektifnya: Ia hanya akan malu jika diam saja; ia hanya akan malu jika tidak melawan. Tetapi itu nanti.

*

Sekolahnya terus berlanjut. Ia menyelesaikan studi pascasarjana di University of Leeds di Inggris dan pulang ke Kenya untuk mengajar sastra Inggris di Universitas Nairobi, tetapi ia mendorong perubahan kurikulum. Afrika harus menjadi inti studi, bukan Eropa. “Kita tidak mempelajari dunia dari Shakespeare ke Chinua Achebe,” katanya, “tetapi dari Achebe ke Shakespeare.”

Pada 1964 ia menerbitkan novel pertamanya, “Weep Not, Child”, novel pertama berbahasa Inggris dari Afrika Timur. Disusul “The River Between” (1965) dan “A Grain of Wheat” (1967). Ketiga novel ini memotret luka oleh penjajahan Inggris dan perjuangan identitas, dengan latar belakang pra-kemerdekaan.

Novel keempatnya, “Petals of Blood” (1977), masih menggambarkan luka kolonialisme, tetapi dengan latar belakang setelah kemerdekaan. Novel ini menggugat janji palsu kemerdekaan dan menggambarkan bahwa struktur kolonial tetap hidup, tetapi dalam bentuk baru. Pemerintah nasional hanyalah reproduksi dari kekuasaan lama yang menindas petani, memperkaya elite, dan menyerahkan ekonomi ke tangan asing. Luka dari masa penjajahan yang belum sembuh diperparah oleh luka baru yang ditaburi retorika kemerdekaan.

Pada Desember 1977, ia ditangkap dan dipenjarakan setelah keterlibatannya dalam pementasan teater rakyat berjudul “Ngaahika Ndeenda” (I Will Marry When I Want). Pementasan dalam bahasa Kikuyu itu, dengan para petani di desanya sebagai pemain, dianggap subversif oleh Wakil Presiden Daniel arap Moi (arti harfiahnya Daniel bin Moi). Ia diambil dari rumahnya pada malam hari, tanpa sempat berpamitan kepada anak-anaknya.

Di dalam sel, dengan sebatang pensil yang diselundupkan oleh sipir yang bersimpati kepadanya, ia menulis catatan harian—juga novel—di gulungan kertas toilet. Selain pengalamannya, ia juga mencatat kisah para tahanan lain: para petani miskin, buruh, dan warga desa yang ditahan karena menuntut keadilan. Seorang lelaki tua ditahan karena menolak menjual tanahnya kepada pejabat lokal.

Tekanan internasional membuat pemerintah terpaksa membebaskannya, dan ia bebas pada Desember 1978. Dua tahun setelah itu, ia menerbitkan “Caitaani Mũtharaba-Inĩ” (Devil on the Cross), novel pertamanya dalam bahasa Kikuyu, yang draft-nya ia tulis di kertas toilet. Selanjutnya, ia hanya menulis dalam bahasa ibunya; ia tidak lagi menulis dalam bahasa Inggris, sebab “bahasa adalah tempat ideologi bermukim.”

*

Dengan keberanian baru untuk menolak norma akademis Barat, ia melakukan kerja keras yang disebutnya sebagai “Decolonising the Mind”, judul buku yang ia terbitkan pada 1986, dan sekaligus tesis kebudayaan yang menunjukkan bahwa kolonialisme mengakar lewat bahasa, bahwa menghapus bahasa ibu berarti menghapus ingatan kolektif.

Ketika ia merasa orang lain perlu membaca karyanya, ia menerjemahkan sendiri bukunya ke dalam bahasa Inggris. Ia tidak ingin penerjemah lain menghilangkan nuansa, ritme, idiom, atau cara berpikir Kikuyu di dalam teks aslinya.

Dalam bahasa Kikuyu, ia menulis lebih bersahaja, menggunakan idiom dan peribahasa lokal, dan kalimat-kalimatnya menyerupai suara nyaring rakyat jelata, bukan suara institusi. Di novel “Caitaani Mũtharaba-Inĩ“ (Devil on the Cross), misalnya, ia membuka cerita dengan gaya tradisi lisan:

“Beberapa orang di Ilmorog—Ilmorog kita—pernah berkata kepadaku bahwa kisah ini sangat memalukan, sangat hina, dan sebaiknya dikubur saja selama-lamanya di liang kegelapan. Yang lainnya mengatakan bahwa kisah ini adalah sumber air mata dan dukacita, dan karena itu harus disembunyikan agar kita tidak menangis untuk kedua kalinya.”

Gaya tersebut mirip dengan cara cerita rakyat dituturkan; ia menempatkan pembaca sebagai pendengar yang berkerumun di sebuah kalangan.

Sebelumnya, ketika ia menulis dalam bahasa Inggris, ia tampak berhati-hati dalam menyajikan realitas Afrika, dan dalam gaya yang ingin diterima oleh pembaca dunia. Pembukaan “The River Between”:

“Dua punggung bukit itu terletak berdampingan. Yang satu bernama Kameno, yang satu lagi Makuyu. Di antara keduanya terbentang sebuah lembah. Lembah itu disebut lembah kehidupan. Di balik Kameno dan Makuyu, membentang banyak lagi lembah dan bukit yang berserakan tanpa pola. Mereka seperti singa-singa yang sedang tidur dan tidak pernah bangun. Mereka cuma tidur, selelap Sang Pencipta.”

*

Menulis dalam bahasa Kikuyu dan menerjemahkannya sendiri dalam bahasa Inggris adalah juga cara Ngũgĩ membalik alur kekuasaan linguistik. Biasanya, karya yang dianggap “bernilai” diterjemahkan dari bahasa kolonial ke bahasa lokal. Ia melakukan sebaliknya. Ia menjadikan bahasa lokal sumber utama dan bahasa Inggris versi kedua. Ini cara halus untuk membalik posisi hierarkis antara pusat dan pinggiran, antara bahasa penjajah dan bahasa yang dulu dianggap rendah.

Ia menolak menjadi perwakilan dunia ketiga yang fasih berbahasa penjajah dan memilih lidah rakyat untuk mempresentasikan dunianya. “Jika kamu tidak mampu berbicara dengan ibumu dalam bahasa yang kamu pakai untuk menulis puisi, maka puisimu kehilangan nyawanya,” katanya.

Sepanjang 1982 hingga 2002, ia harus hidup di pengasingan. Ngũgĩ akrab dengan pemikiran Marx, Fanon, dan Lenin, sementara Daniel arap Moi, yang sejak 1978 menjadi presiden setelah kematian Jomo Kenyatta, menyerukan “tidak ada tempat bagi komunis.” Di pengasingan, ia hidup berpindah-pindah—AS, Inggris, Jerman, Swedia—dan menjadi pengajar di berbagai universitas di negara-negara yang ia singgahi. Dan ia terus menulis. Dan ia terus mengajukan pertanyaan: Siapa yang punya kuasa atas pikiran kita?

Tahun ini, di usia 87, Ngũgĩ wa Thiong’o harus mengakhiri perjuangannya. Ia meninggal dunia pada 28 Mei 2025. Tapi suaranya tak pernah hilang, juga suara ibunya, sebab dalam setiap kalimat yang ia tulis, kita selalu akan mendengar gema suara Wanjikũ: “Saya akan bekerja sekuat tenaga.”

Dan Ngũgĩ juga bekerja sekuat tenaga. Ia melunasi permintaan ibunya.[]



Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Saya menulis artikel dan surat-surat tentang penulisan kreatif hampir setiap hari. Jika ingin menerima surat-surat dan artikel berikutnya via email, sila masukkan email anda di sini.