A.S. Laksana

Ia memajang 47 potret pria di dinding rumahnya, termasuk Abraham Lincoln, Sam Sephard, dan Gary Cooper, dan menyebut mereka “tawanan saya”. Lincoln, dengan wajah yang penuh kerut dan mata yang tampak lelah, adalah pria buruk rupa tetapi agung. “Wajahnya menceritakan kisah perjuangan, kehilangan, dan kemenangan,” katanya, “keindahan yang tak bisa dibuat-buat.” Sam Sephard, yang ia tonton filmnya pada 1978, adalah wajah Barat yang kasar dan tandus, seperti puisi. Gary Cooper dalam High Noon adalah keberanian yang ia tangisi di masa kanak-kanak.
Mereka mewakili kerinduannya akan keindahan yang tak pernah ia miliki, yang menjadi tema utama dan pergulatan batinnya sepanjang hidup. Ia ingin cantik, lebih cantik dari siapa pun, tetapi hidungnya sedikit bengkok. Wajahnya tidak memancarkan kecantikan dramatis seperti Sophia Loren, yang ia simpan fotonya di masa remaja, tidak membuat orang terpana seperti Natalie Wood, yang ia gambarkan seindah laut dalam.
Dengan hidung bengkok dan wajah biasa-biasa saja, ia tidak percaya akan mendapatkan tempat di Hollywood, tetapi ia menyukai cerita dan ingin terlibat di dalamnya. Ia ingin berada di dekat Gary Cooper ketika lelaki itu ditinggalkan semua orang dan harus menghadapi para penjahat sendirian.
Ibunya, seorang fotografer jurnal, membesarkan hatinya dengan dorongan bahwa orang tidak harus sempurna untuk menjadi cantik. Namun ayahnya, seorang insinyur sipil, mengecilkannya lagi dengan bentakan, “Gunakan otakmu!”—seolah-olah ia bodoh sekali.
Diane Keaton, anak pertama dari tiga putri dan satu putra pasangan Dorothy dan Jack Hall, akan selalu berada dalam posisi mendua seperti itu. Dorongan ibu dan bentakan ayah seolah menjadi bagian dirinya. Ia perenung yang setiap saat membesarkan hatinya sendiri, tetapi ia juga akan mementahkannya lagi dengan kerisauan yang tak pernah sudah bahwa hidungnya bengkok dan wajahnya tidak cantik.
Sebagai anak tertua, ia ingin menjadi kakak yang melindungi adik-adiknya. “Tenanglah, aku akan menjadi burung elang yang menjagamu,” katanya pada suatu malam ketika Randy, satu-satunya saudara lelakinya, meringkuk ketakutan. Ia lima tahun dan Randy tiga tahun. Mereka tidur di ranjang tingkat; ia di atas, Randy di bawah. Mata biru adiknya memancarkan kengerian terhadap hantu.
Namun, ia jugalah yang ikut menyumbang kehancuran adiknya. Randy pendiam, tertutup, dan mengkerut di hadapan ayah yang berharap putranya itu lebih maskulin. Diane berumur lima belas ketika ia mendapati Randy menyimpan majalah Playboy di kamar. Ia remaja Kristen yang taat dan bernyanyi di gereja dan majalah bergambar perempuan telanjang adalah dosa. Ke dapur ia menemui ibunya, dan berteriak:
“Ibu, dia menyimpan majalah kotor!”
Randy kian mengkerut, sulit bangkit, dan bertahun-tahun selanjutnya terbenam dalam alkohol. Itu salah satu penyesalan Diane di masa tua. Adiknya rapuh sejak kecil, dan ia, dengan niat menegakkan moral, telah menjadikannya hancur dengan membongkar rahasia yang seharusnya ia lindungi.
Hampir sepanjang kariernya ia akan menjadi orang yang bertarung dengan dirinya sendiri, antara keyakinan bahwa ia bisa cantik dan “fakta” bahwa ia biasa-biasa saja, antara kepercayaan bahwa akting adalah soal bagaimana membawakan kebenaran emosional dan kesadaran berlebih tentang bentuk hidungnya. Itu situasi yang menjadikannya canggung, aneh, dan merasa selalu berada di luar.
Bahkan ketika ia terlihat sangat menawan sebagai Kay Adams, gadis Amerika yang lugu, yang berjalan canggung saat dibawa oleh Michael menghadiri pernikahan Connie Corleone, ia tetap merasa aneh bahwa ia ada di sana. Ia mengikuti audisi dan Francis Coppola memilihnya karena “wajahnya memancarkan hidup dan matanya bicara”, tetapi ia tetap sulit percaya karena ada banyak gadis lain yang lebih cantik untuk memerankan Kay.
Gerakan canggungnya, keluguannya di awal, dan ekspresi pedihnya di akhir film ketika Michael berbohong dan pintu di hadapannya ditutup, semuanya muncul alami—oleh perasaan bahwa ia tidak pernah menjadi bagian dari dunia itu. The Godfather (1972) adalah dunia yang didominasi laki-laki. Diane merasa tak pernah merasa ada di dalamnya.
“Ketika pintu itu ditutup di depan wajahku,” katanya, “aku merasa itu liang kuburan yang menutup.” Ia merasa dianggap sudah mati.
Ia memukau di film itu, menjadi hati di tanah tandus.Namun The Godfather memberinya urusan tambahan: Ia benar-benar jatuh cinta kepada Al Pacino, terlibat dalam hubungan putus-sambung dengan pria itu, dan baru benar-benar berakhir 20 tahun kemudian setelah The Godfather III selesai dibuat.
Dengan Woody Allen ia pernah membangun hubungan romantis dan ia heran bagaimana lelaki itu bisa tahan menghadapi keanehannya. Hubungan mereka kemudian berubah menjadi pertemanan yang berlangsung lama. Ia bermain dalam tujuh film Woody sejak 1972 hingga 1987 dan puncak kolaborasi mereka adalah Annie Hall (1977). Perannya sebagai Annie Hall yang eksentrik, dengan topi lebar dan pantalon pria, memberinya Oscar aktris terbaik. Woody-lah yang mengatakan kepadanya bahwa lucu adalah uang, dan pertemanan dengan Woody juga yang memberinya kecakapan untuk meledek diri sendiri.
Ia juga pernah berpacaran dengan Warren Beatty. Pada awal 1980-an, saat syuting The Little Drummer Girl di Jerman, ia merasa kesepian setelah pertengkaran mereka. Di pasar loak Munich, ia menemukan buku foto tentang film-film Warren, memotong gambarnya dari Bonnie and Clyde, melipatnya kecil-kecil, dan menyimpannya di saku jaket. Sebelum adegan emosional, ia membuka lipatan foto itu, menyentuh wajah Warren dengan jarinya, menciumnya, dan air matanya mengalir mengingat cinta mereka yang rumit.
Dan Al Pacino, satu-satunya lelaki yang ia ingin menikah dengannya. “Warren tampan,” katanya, “sangat tampan, tetapi wajah Al … Killer, killer face.” Ia tidak berharap Al melamarnya, tetapi mata lelaki itu membuatnya ingin melakukan apa saja untuk memilikinya. Dan itu membuatnya sengsara. Al Pacino terlalu dedikatif terhadap dunianya; bahkan di tempat minum ia membaca naskah Shakespeare. Setelah dua puluh tahun hubungan mereka, ia akhirnya harus melepaskan pria yang tak pernah bisa benar-benar ia miliki.
Diane Keaton meninggal pada 11 Oktober 2025 di usia 79. Ia menjalani hidupnya dalam pergulatan untuk menemukan keindahan, menerima kenyataan, dan menebus kesalahan. Dan ia menang.
Di depan cermin, pada usia 67, ia mengatakan kepada dirinya sendiri: “Diane, tak peduli Botox atau apa pun, kau tetap perempuan 67 tahun yang melapuk.” Dan ia tidak pernah melakukan operasi apa pun untuk mengencangkan kulit. Ia terima saja kerut-merut yang mulai muncul seputar mata dan mulut. Ia hanya memerlukan topi lebar, mantel, dan sepatu bot—seperti Annie Hall—untuk melindungi kerentanannya.
Air matanya tetap mengalir ketika ia menyaksikan Al Pacino di layar televisi, pada 2010, ketika lelaki itu diwawancarai CNN. Ia menonton bersama Randy, di panti jompo tempat adiknya itu menghabiskan masa tua sebagai pengidap dementia. Itu upayanya menebus rasa bersalah terhadap adiknya—ia sering mengunjunginya, dengan sesal bahwa seharusnya ia bisa menjadi kakak yang lebih baik ketika mereka masih punya banyak waktu.
“Kamu sakit?” tanya Randy ketika ia muntah-muntah saat menonton wawancara Al Pacino.
“Aku hamil,” ia berkelakar.
Diane tidak pernah menikah dan tidak pernah melahirkan anak. Ia menjadi ibu tunggal untuk dua putra adopsinya, Dexter dan Duke, dan bisa tertawa ketika Dexter menunjukkan kepadanya artikel di internet yang menyebutnya sebagai “jelek nomor lima” di Hollywood. Ia sudah tahu cara meledek diri sendiri; ia sudah memutuskan tidak ada masalah dengan hidungnya; dan ia sudah tahu bahwa miliknya yang paling indah adalah mata. Bukan karena bentuknya, tetapi karena dengan matanya ia bisa menemukan keindahan di tempat-tempat yang tidak terduga. Itu sebabnya ia memajang potret 47 lelaki di dinding rumahnya, orang-orang “buruk rupa” yang memancarkan keindahan. Dan, jika ia mau, ia layak memajang potretnya sendiri di antara mereka.[]
Leave a Reply