Alain Delon, di Layar dan di Bawah Tanah

A.S. Laksana

Di Rue de Rennes, Paris, pada sore hari di tahun 1956, takdir merancang sebuah momen pembuka jalan bagi pemuda luntang-lantung untuk menjadikan dirinya Alain Delon, salah satu ikon terbesar dalam sejarah sinema Prancis, simbol maskulinitas dalam ketampanannya yang muram, perpaduan sempurna antara karisma dan daya tarik gelap—sesuatu yang dikagumi banyak orang pada tahun-tahun yang belum jauh dari masa perang.

Seorang pria tua mendekatinya sore itu dan menghardiknya. Alain, anak muda 21 tahun dengan rokok di bibir dan kancing atas kemeja dibiarkan terbuka, membalas hardikan pria tua itu dengan kasar. Mata birunya menyala.

Beberapa meter di dekat mereka, seorang perempuan 31 tahun merasa bahwa sebentar lagi percekcokan mereka pasti berubah menjadi perkelahian jalanan. Ia segera mendekati mereka dan menepuk lembut lengan si pemuda: Hai, apa kabar? Siapa orang tua ini?

Pria tua itu pergi meninggalkan mereka.

“Mungkin dia berpikir bahwa kami memang punya janji ketemu,” kata Brigitte Auber tentang pertemuan pertamanya dengan Alain Delon. “Kami berdua tertawa dan melanjutkan percakapan di kedai kopi.”

Brigitte sudah bermain di lima belas film pada waktu itu dan yang terakhir dengan Alfred Hitchcock, tetapi Alain seperti tidak peduli bahwa perempuan yang minum kopi bersamanya adalah bintang film. Ia lebih senang untuk alasan lain, yaitu bahwa sejak sore itu ia punya tempat untuk tinggal. Brigitte mengajak Alain pulang ke rumahnya dan mereka berpacaran.

*

Alain Delon lahir pada 8 November 1935 di Sceaux, daerah pinggiran Paris, dan kedua orang tuanya berpisah sebelum Alain empat tahun dan ia tidak memiliki satu pun foto keluarga dari masa itu. Ayahnya menikah lagi, ibunya menikah lagi, dan ia memiliki dua keluarga baru tetapi merasa terasing di dua-duanya. Ia tidak pernah merasa memiliki ikatan kuat dengan siapa pun di antara mereka.

Ia memiliki bakat musik, terutama dalam memainkan piano; ia menyukai olahraga bersepeda dan sering membayangkan dirinya menjadi juara balap sepeda; ia memiliki bakat sebagai penyanyi tenor dan terpilih sebagai solois dalam paduan suara. Dan semua bakatnya sia-sia. Ia tumbuh tanpa dukungan keluarga, menjadi pendiam, memendam kemarahan, dan pada umur 13 sudah beberapa kali dikeluarkan dari sekolah-sekolah asrama karena suka berkelahi dengan teman-temannya.

Pada umur empat belas, ia memutuskan lari ke Chicago bersama teman sekolahnya, membayangkan menjadi tukang daging di sana, tetapi tertangkap sebelum berhasil meninggalkan Prancis. Kedua remaja dibawa ke kantor polisi ketika kereta tiba di Châtellerault, diinapkan di penjara, dan dikembalikan ke rumah orang tua masing-masing. Ibunya memutuskan bahwa sekolah tidak cocok untuk Alain dan menariknya ke rumah dan itu membuatnya semakin frustrasi.

Ayah tirinya, Paul Boulogne, seorang tukang daging. Mereka tinggal di lantai atas, setiap hari mencium bau daging dari lantai bawah yang difungsikan sebagai toko daging, dan ia harus bekerja di toko daging ayah tirinya. Selama tinggal di rumah itu, ia merasa lebih sebagai buruh toko daging ketimbang anak.

Pada umur 17, ia menjalani wajib militer, masuk angkatan laut, dan dikirimkan ke zona perang di Saigon, Indocina. Meskipun ia selamat dari medan perang dan tidak membunuh siapa pun di sana, tetapi itu pengalaman yang mengerikan baginya. Ia mengakui sering berada dalam situasi sangat berbahaya: peluru-peluru berdesingan dan ledakan terjadi di sekitarnya tanpa ia tahu di mana peluru akan menyasar dan bom akan jatuh.

Di Saigon, ia melanjutkan kenakalannya seperti saat masih menjadi murid sekolah. Ia membawa lari jip tentara dan membuat kendaraan itu tercebur ke sungai dan kasus itu membuatnya harus merayakan ulang tahunnya yang ke-20 di ruang tahanan militer.

Seluruh pengalamannya sejak masa kanak-kanak, ditambah dengan trauma medan perang, membuatnya semakin membenci ibunya dan ayah tirinya. Mereka membiarkannya dikirimkan ke Saigon. Ia memang menjalani wajib militer, tetapi ia yakin pengiriman itu tidak akan terjadi sekiranya Edith dan Paul menyatakan tidak setuju anak mereka dikirimkan. Setelah pulang dari Saigon, ia tidak mau lagi kembali ke rumah dan berurusan dengan keluarganya.

*

Alain memilih pulang ke Pigalle, sebuah kawasan di Paris yang merupakan perpaduan kusut antara gemerlap kehidupan malam dan kegelapan kehidupan bawah tanah. Bangunan-bangunan tuanya dirambati lampu-lampu neon warna-warni, udaranya dipenuhi aroma parfum murah dan asap rokok dan bau alkohol, dan bagian-bagian gelapnya menawarkan petualangan maut di dunia bawah tanah: narkotika, prostitusi, perjudian, pemerasan dan penipuan, perkelahian dan penganiayaan.

Pada 1950-an itu, Pigalle adalah Paris yang paling mentah dan tidak terkendali, tempat di mana mimpi dan mimpi buruk berjalan berdampingan, tempat di mana kehidupan terasa lebih hidup, lebih intens, dan lebih berbahaya, tempat di mana semua jenis kegelapan berbaur dalam satu panci besar. Dan, dengan demikian, Pigalle secara alami cocok dengan naluri pemuda 20-an yang berwajah malaikat, menyimpan kemarahan dan trauma, dan begitu merindukan perhatian.

Ia tidak memiliki pekerjaan tetap, namun secara naluriah ia tahu bagaimana memanfaatkan apa yang ia miliki—wajah tampan dan tubuh ramping—untuk bertahan hidup. Para perempuan menyukai wajah malaikatnya dan itu sebabnya para pelacur di Pigalle dengan senang hati menampungnya dan memberinya makan, dan ia sendiri tampaknya tidak keberatan dengan hal ini. Untuk mendapatkan uang, ia bekerja serabutan, termasuk mengambil pekerjaan-pekerjaan kecil yang tidak memerlukan keterampilan khusus, seperti menjadi pelayan, kurir, atau penjaga pintu klub malam.

Di tempat ini ia belajar memahami kode-kode sosial dunia bawah tanah. Ia belajar membawakan diri di hadapan orang-orang yang berpengaruh di kawasan itu, belajar menjaga jarak dari bahaya, dan belajar cara menjaga rahasia dan bersikap loyal terhadap orang-orang yang bisa memberinya perlindungan.

Pigalle, yang pernah menyaksikan Édith Piaf menyanyi di klub-klub kecilnya sebelum penyanyi kabaret ini meraih ketenaran internasional, kini sedang mempersiapkan ikon budaya pop Prancis berikutnya. Ia memberi peluang kepada Alain untuk memahami sisi paling gelap dari karakter-karakter yang nantinya ia perankan di layar lebar, tetapi itu harus menunggu momentum pertemuannya pada sore hari dengan Brigitte Auber.

*

Beberapa bulan setelah pertemuan sore itu, Brigitte membawa Alain ke Festival Film Cannes, 1957, memperkenalkan pacarnya kepada teman-temannya, dan beberapa pekan setelah itu Alain mendapatkan peran pertamanya dalam film. Itu bermula dari pesta koktail yang diadakan oleh Brigitte dan di antara teman-teman yang ia undang malam itu adalah aktris Michèle Cordoue dan suaminya, sutradara Yves Allégret.

“Tak lama kemudian, dia berkencan dengan Michèle,” kata Brigitte, “dan Michèle berhasil meyakinkan suaminya untuk memberi Alain peran dalam Quand la femme s’en mêle. Dan kisah cinta kami berakhir.”

Yves Allégret hanya memberinya peran kecil dalam film itu, tetapi Alain mendapatkan sesuatu yang sangat penting bagi kariernya. “Saya tidak tahu apa-apa tentang film,” katanya. “Allégret mengatakan kepada saya: ‘Dengar aku baik-baik, Alain. Bicaralah seperti kamu berbicara kepadaku. Pandanglah seperti kamu memandangku. Dengarkan seperti kamu mendengarkan aku. Jangan berakting, lakukan apa saja seperti kamu melakukannya sehari-hari.’ Itu mengubah segalanya. Jika Yves tidak mengatakan itu, saya mungkin tidak akan memiliki karier ini.”

Dan ia segera menjadi meteor baru di langit perfilman Prancis.

Ia memiliki wajah tampan dan penampilan yang gundah dan mata biru yang menatap tajam, dan itu semua adalah pesona yang nyaris tak tertandingi pada masanya. Pertemuannya dengan sutradara Jean-Pierre Melville melahirkan film Le Samourai (1967), salah satu karya paling terkenal melville dan sering disebut sebagai salah satu film noir terbaik sepanjang masa. Bersama Luchino Visconti, sutradara Italia, ia menghasilkakn film Leopard (1963), film epik yang menggambarkan dekadensi aristokrasi Sisilia pada abad ke-19 dan memenangi Palme d’Or di Festival Film Cannes.

Dalam sejumlah perannya sebagai sosok antihero, ia menjadikan dirinya perwujudan antara karisma dan daya tarik gelap, antara keanggunan fisik dan kerapuhan batin, antara cahaya di permukaan dan kegelapan di lapisan bawahnya. Ia dipuja karena kemampuannya menghidupkan karakter-karakter yang kompleks dan penuh kontradiksi, tokoh-tokoh yang berjuang di tengah dilema moral, misterius, kadang kejam, dan ia memainkan semuanya dengan intensitas yang mendalam. Itu memberinya status hampir mitos sebagai monster agung dalam sinema Prancis.

“Semua yang saya perankan di layar adalah semua yang saya alami dalam kehidupan saya,” katanya.

Ia jujur dengan pernyataan tersebut, dalam arti ia sendiri begitu kompleks, kontradiktif, dan penuh kontroversi. Hubungannya dengan politikus sayap kanan, terutama dengan Jean-Marie Le Pen, pemimpin partai Front National, menimbulkan banyak kecaman. Mendukung Le Pen, di mata banyak orang, berarti mendukung ultranasionalisme yang menolak inklusivitas dan memperkuat diskriminasi, sesuatu yang menjijikkan bagi para pendukung keberagaman dan kesetaraan manusia.

Sebagai figur publik dengan pengaruh besar, ia dianggap memiliki tanggung jawab untuk mempertimbangkan dampak dari pandangan politiknya. Namun, dengan terang-terangan mendukung Le Pen, ia tampaknya tidak mau peduli terhadap dampak negatif dari afiliasi politiknya, sesuatu yang tidak bisa diterima oleh sebagian besar masyarakat Prancis.

Dan yang terus menjadi sorotan publik adalah hubungannya dengan banyak perempuan yang menjadi kekasihnya. Dalam urusan itu, Alain dikenal sebagai pria yang hanya peduli pada dirinya sendiri. Ia dengan mudah beralih dari satu hubungan ke hubungan lainnya tanpa memikirkan dampak emosional terhadap pasangannya. Kehidupan rumah tangganya penuh gejolak, sering diwarnai oleh perselingkuhan, ketidakstabilan, dan aksi kekerasan, yang mencerminkan kesulitan Alain dalam mempertahankan komitmen jangka panjang. Ia betul-betul serupa dengan karakter-karakter antihero yang diperankannya: tampan, memendam misteri, dan rapuh secara batin.

Namun, terlepas dari kontroversi politik dan kehidupan pribadinya, Alain tetap dipuja karena kemampuannya untuk terus relevan di industri film, bahkan setelah lebih dari setengah abad ia menggeluti dunia itu. Keberaniannya untuk mengambil peran-peran yang menantang dan keputusannya untuk terlibat langsung dalam produksi film juga dipandang sebagai dedikasi luar biasa terhadap seni.

Ia dipuja dan dikecam dalam ukuran yang hampir sama. Di layar, cara ia menghidupkan karakter dengan daya tarik fisik yang luar biasa dan kerapuhan emosional atau moralitas yang ambigu menjadikannya seorang legenda perfilman, dan itu tak terbantahkan. Karakter yang sama dalam kehidupan sehari-hari menjadikannya simbol untuk sesuatu yang lain, ialah dualitas antara seni dan kehidupan nyata yang sering kali tak mudah dipahami.

Alain Delon meninggal pada 18 Agustus 2024 di usia 88. Brigitte Auber, sekarang 99 tahun, pacar pertamanya dari kalangan perfilman, mengingatnya sebagai kekasih yang selalu menunjukkan kelembutan dan perhatian. Dan mereka tidak pernah berhubungan lagi sejak Alain meninggalkannya. Ia akan menghubungi Edith, ibu Alain, yang ia panggil dengan sebutan sayang “Mounette”, jika ia ingin tahu kabar Alain.

“Dia tidak pernah mencari kabar tentang saya,” katanya, “tapi itu wajar: itu bukan sifat Alain. Dia terlalu egosentris dan selalu memiliki hal lain dalam pikirannya, seperti bekerja dengan sutradara-sutradara ternama. Sungguh lucu memikirkan peristiwa itu. Jika pria itu tidak menghardiknya dan saya tidak mendatangi mereka, sejarah akan berbeda.”[]



Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


Saya menulis artikel dan surat-surat tentang penulisan kreatif hampir setiap hari. Jika ingin menerima surat-surat dan artikel berikutnya via email, sila masukkan email anda di sini.